Taraka

Siska Ambar
Chapter #20

#20 Dua Perpisahan

Bapak duduk di salah satu kursi dengan baju batik terbaik miliknya. Bapak sudah meminta izin kepada pak mandor di proyeknya jika hari ini ada acara penting. Bapak selalu datang lebih awal dari waktu undangan. Bapak tak akan malu untuk duduk di barisan paling depan. Dekat dengan bapak dan ibu guru membuat Bapak merasakan aura kewibawaan bapak ibu guru ikut menular. Tak perlu susah payah jika ingin mencari Bapak. Bapak secara tidak langsung mengajarkan agar aku tak minder dengan status yang kita punya selama kita tidak melakukan kesalahan atau merugikan orang lain. Kerja kerasku selama di sekolah juga memantapkan Bapak untuk duduk di barisan depan. Benar, Bapak selalu berada di barisan terdepan untuk mendukung putri-putrinya. Aku juga yakin orang tua yang hadir di ruangan ini pasti bangga dengan pencapaian putra-putri mereka. Pasti mereka juga menjadi alasan teman-temanku bisa terus berprestasi dengan gemilang. Setiap yang hadir adalah pelita bagi cintanya.

Dari tempat dudukku bisa kulihat dengan jelas sosok itu. Bapak dengan kesederhanaannya telah berhasil mengantar putri sulungnya sampai ke titik ini. Putri kecil yang dulu suka menangis hanya demi sebuah permen sekarang sudah mulai tumbuh dewasa. Belasan tahun yang penuh dengan terasa. keringat dan rasa sakit yang kerap diabaikan layak mendapat penggantinya. Keberhasilanku adalah keberhasilan Bapak juga. Aku tak ingin mengecewakan Bapak dan Ibu untuk yang kesekian kalinya. Lepas dari bangku SMA aku harus siap menghadapi kehidupan sesungguhnya di mana teori harus dibuktikan dalam praktik. 

Hari ini bisa menjadi pelipur laraku beberapa hari yang lalu. Setelah Hassya mengantarku pulang ke rumah selepas membantuku menjelaskan kepada Bapak dan Ibu, semuanya berjalan seperti biasa. Tak ada kekecewaan yang Bapak dan Ibu tunjukkan. Rapalan doa malah kudapatkan tak henti. Bapak dan Ibu mengembalikan kekuatanku. Meski aku merasa bersalah, mereka berdua tak menganggap kegagalanku sebagai sebuah kekalahan atau kesalahan.

"Bapak dan Ibu tak pernah menuntut kamu harus kuliah. Jika memang kamu ditakdirkan sukses melalui kuliah, pasti suatu saat nanti kamu akan kuliah. Bapak dan Ibu selalu bangga pada pencapaian anak-anak Ibu. Kita tidak perlu iri dengan keberhasilan orang lain. Kita hanya perlu berusaha terus dengan melakukan yang terbaik. Kamu paham?" jelas Ibu begitu kusampaikan kabar kegagalanku.

Aku hanya mengangguk menahan air mataku. Namun, berkat Hassya aku menjadi lebih tegar saat itu.

"Bapak yakin ada banyak jalan untuk bisa sukses."

Sejak saat itu aku berjanji tidak akan menyerah demi meberikan kebahagiaan untuk Bapak dan Ibu. Aku berharap ada kesempatan untuk mengganti semua lelah yang telah mereka korbankan untukku. Kepercayaanku pada takdir terbaik yang telah Tuhan gariskan untukku kembali menguat karena Bapak dan Ibu.

Aku kembali fokus pada hari ini. Dalam iringan gamelan acara demi acara terus berlangsung. Label cukup umur sudah kudapat beberapa bulan lalu. Aku masih belum mendapat banyak label lain. Bukan untuk mendapat pengakuan dari orang lain tentang keberhasilanku melainkan sebagai pengingat diri bahwa ada banyak hal yang harus dijaga sebab menjadi dewasa bukan hanya perkara angka semata melainkan ada tanggung jawab lebih yang harus dipikul. Mungkin saja menjadi dewasa tak akan mudah, tapi hidup harus tetap berjalan.

Satu per satu nama kami dipanggil untuk naik ke panggung menerima surat keterangan hasil ujian sementara. Dengan balutan kebaya dan jas untuk siswa laki-laki, semuanya terlihat ceria dan bangga dengan diri masing-masing. Kerja keras yang membuahkan hasil berhasil melukiskan senyum di setiap bibir. Binar bahagia juga terpancar dari setiap pasang mata. Saat tiba giliranku, kujabat tangan pak kepala sekolah. Pak Husein sudah memberi banyak sekali nasihat di setiap amanat atau apel upacara. Setelah ini aku resmi tak lagi menjadi murid didiknya. Namun, sampai kapan pun bapak ibu guru tetaplah orang tua kami. Bagaimana pun, jika kelak nanti kami berhasil, ada peran luar biasa dari bapak dan ibu guru. Berkat jasa bapak dan ibu guru aku bisa sampai di titik ini dengan pencapaian yang memuaskan untukku. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang kumiliki, dengan bangga deretan nilai di selembar kertas itu kupersembahkan untuk Bapak dan Ibu.

"Satu dua tiga. Ya..." ucap sang fotografer. 

Aku tersenyum ke arah kamera agar hasil fotoku bagus. Foto ini akan menjadi salah satu bukti. Jika diberikan kesempatan, aku ingin sekali mengambil mikrofon dan menyampaikan semua rasa terima kasihku kepada Bapak dan Ibu. Aku akan memberitahukan pada ratusan pasang mata di ruangan ini bahwa ada seseorang luar biasa yang dibalut dalam kesederhanaan sudah berhasil membuat putrinya berhasil. Jika saja kesempatan itu ada, aku akan berpanjang lebar kata mengatakan jika Bapakku adalah yang terbaik dalam acara ini. Bapak adalah pelita bagiku yang menerangi tiap langkahku. Bapak pula yang membuatku kembali berdiri saat aku merasa tak sanggup lagi untuk melangkah. Hari ini adalah milik Bapak dan Ibu.

Dari atas panggung bisa kulihat Bapak terus memandangku. Ingin rasanya memeluk dan mengatakan pada Bapak jika dia sudah berhasil. Ini keberhasilan milik Bapak. Namun, aku tak perlu berkata banyak. Ada banyak hal yang tak perlu diucapkan dengan banyak kata karena sebuah tatapan sudah bisa untuk menjelaskannya. Tatapan Bapak sudah mengatakan padaku jika Bapak sangat bangga. 

"Sudah selesai?" tanya Bapak setelah menungguku beberapa menit. Acara sudah selesai. Kami semua bersiap untuk pulang. Mulai saat ini kami adalah alumnus SMA Negeri 1 Banyumas. Ada nama baik sekolah yang harus kami jaga meskipun tak lagi menimba ilmu di sini. Tempat yang menjadi rumah keduaku selama beberapa tahun pasti akan semakin jaya dan hebat. Bangunan-bangunannya pasti akan semakin megah seiring para alumnusnya yang tumbuh dalam kehidupan nyata. 

"Sudah, Pak. Langsung pulang?"

"Mau mampir?"

Aku tersenyum mengetahui maksud pertanyaan Bapak. Kami akan mampir untuk membeli makanan sebagai perayaan hari ini, seperti kebiasaan setiap mengambil rapor semester atau kenaikan kelas. Selalu ada perayaan dari Bapak dan Ibu untuk pencapaian anak-anaknya. Meskipun sederhana, tetap saja semua itu terasa berkesan dan terukir menjadi kenangan manis yang akan selalu kami ingat. Dengan segala keterbatasannya, Bapak sudah membuatku menjadi hebat. Kupandang lagi sekolahku. Suatu saat aku ingin kembali berkunjung ke sekolahku sebagai seseorang yang berbeda. Nanti setelah aku berhasil, aku akan mengabarkan bahwa kegagalan tak selalu berujung pada jalan buntu. 

***

Sudah tak ada mendung di kaki langit sebelah mana pun. Hujan sudah tak pernah turun. Aku terduduk di batu tempat biasa aku dan Hassya bercerita banyak hal. Beberapa hari lagi Hassya akan pergi ke Jakarta. Kuliah di sana dan nanti akan pulang menjadi orang sukses. Tak ada liku dalam perjalanan Hassya, setidaknya itu yang ada dalam gambaran pikiranku.

Angin menggerakkan dedaunan serentak ke arah barat lalu berbalik ke timur. Angin bertiup lumayan kencang dan sesekali menerbangkan dedaunan. Musim kemarau memang kerap dihiasi dengan angin yang bergerak tak menentu. Kudengar derap langkah mendekat. Dari jalan kecil di sebelah kanan tempatku duduk, kulihat seseorang memanggul sekarung penuh rumput. Aku tersenyum lebih dulu sebelum senyumnya mendahului. Keringat yang menetes membasahi baju cukup menjelaskan kerja keras di pagi ini.

"Istirahat dulu, Mang," tawarku sambil tersenyum. 

Mang Oyo tersenyum dan meletakkan karungnya. Dia menyeka keringat yang menetes di wajah. Bajunya sudah basah. Aku merasakan jika Mang Oyo sudah menjadi Mang Oyo yang aku kenal. Kambingnya yang hilang yang sudah sempat diikhlaskan, katanya sudah kembali beberapa minggu yang lalu. Tentu hal itu menjadi tambahan amunisi semangat bagi Mang Oyo. Dia tak jadi kehilangan yang memang seharusnya menjadi miliknya. Senyum Mang Oyo telah kembali seutuhnya dengan semangat yang berlipat.

"Kambingku sudah mau beranak lagi, Jan. Mungkin akan lahir dua sekaligus," kata Mang Oyo sambil meluruskan kakinya. Ada kegembiraan yang tersirat dalam kabar gembira itu. Hasil yang sepadan dengan keringat yang telah Mang Oyo keluarkan setiap hari.

Lihat selengkapnya