Januari 2017
Petasan yang semalam terdengar di pergantian tahun ternyata meninggalkan jejak di tepi jalan. Kertas-kertas itu berserakan di beberapa titik. Sepertinya ada yang datang ke pemancar sekadar untuk melihat warna-warni kembang api di penghujung tahun dan permulaan tahun. Aku sudah jarang berkunjung ke sini. Saat aku duduk kurasakan bayangan Hassya ikut menemani dengan tatapan ke arah rel kereta di kejauhan. Keceriaannya masih dapat kurasakan. Kenangan demi kenangan berputar dengan sendirinya. Hassya seolah tetap setia menemaniku jika aku duduk di sini.
Hari ini aku sengaja menyempatkan diri datang ke sini. Aku berencana mengambil kotak rahasia milikku. Aku akan menyimpannya di rumah saja supaya lebih aman. Terlebih aku sudah jarang berkunjung ke sini. Aku juga takut jika tiba-tiba lahan ini digarap dan membuat kotakku hilang. Akan lebih parah lagi jika kotak itu diambil oleh orang lain dan tak dikembalikan padaku. Bisa jadi kotak itu hilang bersama kenang-kenangan yang kusimpan di dalamnya. Lagi pula Hassya juga sudah membawa kontaknya. Dia tak memberitahuku terlebih dahulu. Dia hanya mengirim pesan jika sudah memindahkan kotak miliknya. Menurutku dia membawanya ke Jakarta atau paling tidak menyimpannya di rumahnya.
Kugali tanah yang menutupi kotak milikku. Ada sedikit kejanggalan karena baru kugali sedikit ternyata kotak itu sudah bisa kuraba. Biasanya aku membutuhkan waktu beberapa detik untuk bisa menemukan kotak itu. Tanah yang menutupi kotak terus kusingkirkan. Ini bukan kotak milikku. Warnanya hitam bukan kuning seperti milikku. Padahal di sekelilingnya tak ada bekas galian. Sepertinya bukan baru beberapa hari kotak ini digali. Tebakanku sekitar dua mingguan.
Aku panik karena kotak milikku tak ada. Yang ada justru kotak milik Hassya. Setelah berkali-kali kupastikan jika aku tak salah menggali, ternyata benar kotak milikku tak ada. Aku kebingungan karena justru mendapati kotak Hassya ada di sini. Kotak hitam itu tak kuketahui banyak isinya. Namun, sejak kapan Hassya meletakannya di sini? Aku kembali duduk di atas batu dengan tangan sedikit kotor. Apa ada orang lain yang sudah menemukan kotak itu ya? Beberapa dugaan muncul di kepalaku. Ada sedikit ketakutan juga jika memang benar kotak itu diambil oleh orang lain.
Kuamati kotak itu. Kotak ini memang sama bentuknya dengan milikku. Hanya berbeda warna saja. Satu diberikannya padaku dan kami sepakat untuk mulai mengubur kotak itu di sini. Dulu kami mencari beberapa lokasi untuk mengubur kotak ini. Sempat dua kali kami memindahkan lokasinya sebelum akhirnya sepakat menguburnya di tempat ini. Selain karena alasan kami bisa berkunjung hampir setiap minggu, tempat ini tak terlalu ramai dan juga ada tempat duduk yang nyaman untuk kami. Akhirnya tempat ini menjadi pilihan terakhir untuk menyimpannya.
Kubuka perlahan kotak itu. Aku terkejut melihat apa yang Hassya simpan di dalamnya. Kalung dan gelang yang juga kumiliki masih disimpannya. Bedanya di sini terdapat beberapa surat dengan ukuran yang berbeda. Aku ragu apakah akan membaca surat itu atau tidak karena kami tak pernah membuka kotak tanpa persetujuan pemiliknya. Walaupun aku penasaran dengan isi kotak ini, sejak dulu aku tak pernah lancang membuka tanpa persetujuan Hassya. Namun, ketika mendapati sebuah coretan kecil di pojok kotak, aku berani untuk membuka surat itu. Kuambil urut mulai dari yang paling atas.
Surat kecil dengan warna kuning. Gambar lilin yang pasti digambar sendiri oleh Hassya menghias sampul surat itu. Hassya selalu memiliki seni untuk menghias karyanya. Kuakui gambarnya tak pernah gagal dan aku selalu kagum dengan hasil coretan miliknya.
Untuk sahabatku
Aku tau kamu pasti akan menemukan kotak ini, Jan. Aku yang sengaja menukarnya. Maafkan aku ya karena kalau aku bilang dulu pasti kamu akan memarahiku. Kalau mau marah ya silakan marah, Jan. Aku tidak dengar kok.
Paragraf pembuka membuatku lega sekaligus kesal juga. Kotak itu tak sepenuhnya hilang atau diambil oleh orang asing. Ternyata Hassya memindahkan kontaknya bukan ke rumah atau ke Jakarta melainkan memindahkan ke tempat kotakku dan menukarnya. Sepertinya kotak milikku sudah dibawanya.
Selamat ya, Jan. Untuk semuanya. Untuk ijazah keempat Bapak dan Ibumu.
Dari sahabat Janari
Aku tersenyum. Ijazah keempat Bapak dan Ibu sudah berada di rumah. Aku belum berhasil memberikan kebahagiaan dengan melanjutkan kuliah. Namun, aku bersyukur karena Bapak dan Ibu merasa bangga atas apa yang kuraih selama tiga tahun di SMA. Sampai saat ini cinta pada Bapak dan Ibu masih menjadi hulu dan hilir perjuanganku. Bapak dan Ibu selalu menjadi alasan terkuatku untuk selalu bangkit. Aku masih terus mencoba setegar Bapak. Hassya juga tahu deretan angka yang tertulis pada ijazah milikku. Dia juga merasa bangga dengan hasil kerja kerasku itu. Nilai Hassya sudah pasti lebih bagus dariku dan aku sama sekali tak iri sebab Hassya memang pantas memeroleh nilai-nilai yang sempurna.
Kututup surat pertama setelah membaca dan mengamatinya beberapa saat. Surat itu ditulis tangan dengan begitu rapi. Kuambil surat kedua dengan sampul bergambar bulan. Hassya memang suka membuatku penasaran. Entah apa maksud dari setiap gambar yang dia berikan di setiap lembarnya.
Untuk sahabatku yang kadang menyebalkan
Pembuka surat ini langsung berhasil membuatku tersenyum. Jika saja Hassya di sini pasti aku akan langsung memprotesnya. Entah bagaimana perasaan dan ekspresi Hassya saat menuliskan surat ini. Aku bahkan tidak tahu kapan dia menulis surat ini. Apakah dalam satu waktu atau dalam jeda waktu yang tak kuketahui. Hassya pasti tahu bagaimana reaksiku saat membaca suratnya ini.
Kamu tidak gagal. Kamu berada di jalan terbaik. Takdirmu tak pernah tertukar. Kesedihanmu bukan alasan untuk berhenti melangkah. Kekecewaanmu bukan alasan untuk menyerah. Ingat bahwa impianmu harus terwujud. Tuhan punya banyak rencana indah dan kejutan tak terduga.