Target Menikah

arik tri buana
Chapter #1

1. Kapan Menikah?

Perempuan itu fitrahnya baperan. Mudah sekali terbawa perasaan. Lihat pasangan manis dikit langsung baper, ingin cepat nikah. Padahal jodohnya belum kelihatan rimbanya.

Wajar sih ya, terkadang kita lihat seseorang yang menarik perhatian kita tertarik lalu ketika hadir yang lebih hebat, berpaling begitu saja. Ababil.

Seperti perempuan yang saat ini sedang melihat video viral di kamarnya. Siapa lagi kalau bukan Aringga Tungga. Perempuan yang saat ini sedang histeris sendiri melihat liputan pasangan yang baru menikah lewat jalan islami alias ta’aruf.

Keuwuannya membuat siapa saja yang melihat mereka jadi merinding. Kadang ia juga mendumel sendiri. Saat matanya ternoda karena aksi pasangan lain yang terlewat romantis. Geli saja, katanya.

Orang macam Aringga Tungga itu memang aneh. Tidak suka lihat pasangan yang terlampau budak cinta tapi suka kepo.

Ringga sapanya, perempuan yang menginjak umur dua puluh lima tahun ini menyandang predikat jomblo sejak lahir. Itu dikarenakan ia sama sekali belum pernah yang namanya pacaran. Kagum sih pernah, tapi cuma sebatas itu.

Ringga mendengus saat tahu ada seseorang yang mengganggu aktivitasnya. Layar ponselnya berubah menjadi gambar ibu negara. Sebelum ia mengangkat teleponnya. Ringga berusaha mengatur napasnya.

“Assalamualaikum mamaku sayang.”

“Wa ‘alaikumsalam, Ringga. Kamu kapan pulang ke rumah? Ponakan kamu Kiki minggu depan akan lamaran. Ini juga mama sudah dapat empat undangan dari teman SD kamu.”

Nah kebiasaan mamanya setiap telepon pasti yang diomong anak tetangga. Itu namanya sia A sudah nikah. Itu namanya si B sudah mau lamaran. Musim kondangan bikin auto gubrak buat Ringga.

“Kamu kapan pulang bawa calon menantu buat mama. Masak anaknya bu Jeni kalah sama anak tetangga yang lahir kemarin sore.”

“Duh mama. Menikah itu bukan ajang siapa cepat tapi siapa yang tepat.”

“Kamu ini bisa saja cari alasan. Kamu ini anak perawan mama satu-satunya. Tinggal di luar kota sendiri. Mama itu setiap malam enggak bisa tidur karena memikirkan kamu. Kalau sudah ada suami kan kamu ada yang jaga. Mama sama papa sudah enggak khawatir lagi.”

“Aduh mama! Di sini Ringga ada yang jaga kok. Tuh pak hansip depan kompleks. Dua puluh empat jam selalu ada. Mama tenang saja, enggak usah khawatir.”

“Ringga! Mama serius.”

Ringga langsung melemparkan tubuhnya terlentang. Kakinya tak bisa diam menendang-nendang udara mirip bocah yang lagi merajuk.

“Iya mama ku tersayang.”

“Kamu kerja cari apa sih? Nanti saat kamu jadi istri juga kamu diam di rumah, urus rumah dan anak.”

“Mama, resepsi juga butuh uang.”

“Menikah itu ibadah yang penting sah. Enggak perlu resepsi yang mewah.”

“Mama, menikah juga harus butuh suami. Kalau jodohnya Ringga belum datang, terus Ringga bisa apa?”

“Makanya kamu cari dong! Masa, di tempat kerjamu enggak ada satu pun yang kecantol.”

Ringga menghela napas panjang. Ia seketika terperanjat. Ringga mengubah posisinya menjadi duduk. Melihat-lihat pantulan di cermin. Sekilas Ringga berpikir, wajahnya tidak jelek-jelek amat juga tidak cantik-cantik amat. Posisi pas dengan porsi yang tepat.

“Tau ah mah. Ringga pusing. Nanti kalau ketemu jodohnya juga bakalan nikah. Saat ini fokus memperbaiki perekonomian bangsa dan memperbaiki diri dulu.”

Setelah mengakhiri percakapan antara ibu dan anak yang banyak menguras waktu dan tenaga. Ringga kembali merebahkan tubuhnya. Pikirannya menerawang sampai ke planet ya g dihapus dalam tata perplanetan. Pusing kalau bicara soal jodoh. Tidak ada ujungnya.

Ringga kembali mengotak-atik ponsel pintarnya. Kembali ia mencari-cari berita yang sedang viral di media sosial.



...



Sinar matahari mencoba menerobos celah-celah jendela. Jendela kaca yang bening tanpa tirai mempermudah kilatan mentari menerpa epidermis perempuan yang kini masih meringkuk dalam tidurnya. Posisi tidur yang dianggap kurang wajar. Bantalnya sudah terlempar jauh dari ranjangnya. Selimutnya sudah jauh berada di bawah kakinya.

Lihat selengkapnya