"Aksa kurang tau, Bu! Mari kita tunggu dokter keluar, dan sembari berdoa agar Ara baik-baik saja," ucap Aksa dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.
Aksa sangat takut jika Kiara di dalam sana tidak baik-baik saja. Bayangan mobil yang begitu hancur di setiap sisi membuatnya sedikit merinding dan sekaligus ketakutan, ia bahkan terus menerus merapalkan kalimat doa di dalam hatinya.
Aksa menutupi wajahnya agar tidak terlihat jika saat ini tengah meresah begitu hebat, dan sekaligus ia tidak ingin menambahkan beban pikiran dengan raut wajah dari Anindita juga Angel yang bahkan jelas lebih terpukul.
Anindita mondar-mandir di depan pintu ruang UGD yang di dalamnya ada Kiara--putrinya. Hati merasa tidak tenang dan sekaligus takut, dan berharap tidak ada masalah serius hingga memakan waktu yang cukup lama seperti ini.
"Angel! Kenapa sih Kakak kamu itu cerobohnya gak ngotak sekali," gerutu Anindita dengan wajah kesal.
Angel hanya mengedikkan bahunya, cuek dan tidak perduli. "Mau mencari sensasi kali tuh orang! Hobi banget buat orang panik, menjijikkan!"
Aksa mendengar ucapan yang keluar dari mulut Angel, sontak langsung menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Kiara begitu baik pada adik-adiknya, sedangkan saat ia tertimpa kemalangan saja mereka sama sekali tidak perduli, sungguh miris.
"Bisa jadi, yang kamu omongin itu ada benernya," ucap Anindita yang kemudian melangkah untuk duduk tepat di samping Aksa. "Ambil tas saya saja dia gak becus, benar-benar tidak berguna sekali," gumam Anindita kembali.
Aksa hanya diam. Tenang, dan mengambil napas sembari mengingatkan pada dirinya sendiri jika ini bukan ranahnya sama sekali, urusan keluarga dan ia tidak berhak untuk ikut campur sama sekali.
Bunyi pintu ruangan terdengar. Aksa dengan cepat berdiri di depannya, dan ia ingin bertanya banyak hal pada dokter yang menangani Kiara di dalam sana. Namun, sebelumnya ia harus tenang dan santai, agar semunya tetap kondusif.
"Dokter! Kondisi pasien di dalam sana bagaimana? Dia baik-baik saja, bukan?" tanya Aksa memberondong dokter yang baru saja keluar dengan banyak pertanyaan. Ternyata rasa khawatir yang ada di dalam dirinya sama sekali tak bisa dikontrol, meskipun awalnya ia berusaha menenangkan diri terasa sangat percuma.
Dokter tersebut menatap satu persatu orang yang ada di depan ruangan tersebut. "Untuk keluarga dari Ibu Kiara, mana yah?" tanya dokter.
Anindita melangkah maju ke depan, dan menggeser Aksa agar tak perlu repot untuk mengurusi Kiara, meski ia tau mereka berdua memang sahabat baik sedari awal.
"Saya Ibu dari pasien, dokter. Bagaimana dengan kondisi anak saya?" tanya Anindita dengan harap-harap cemas.