Aksa melihat sang sahabat yang kembali menangis. Tangan terulur untuk menghapus buliran bening yang terus menerus luruh di pipi itu.
Aksa menatap asisten rumah tanggannya yang masih berada di dalam kamar. "Bi, makasih yah karena udah mau jaga Ara selama Aksa pergi tadi," ucap Aksa dengan garis lengkung tipis yang ia tampilkan. "Sekarang Bibi boleh lanjut tugas yang lain, biar Ara saya handle."
Asih memberikan anggukan kecil pada kepalanya. "Siap Den! Bibi keluar dulu yah," ucap Asih dengan langkah kaki mulai menuju ke arah pintu untuk keluar dari kamar tersebut.
Aksa tidak menghiraukan kepergian Asih barusan dari kamarnya. Ia memilih untuk memperhatikan Ara yang terus menerus menangis dengan bahu sedikit terguncang itu, melihat pemandangan seperti ini terasa sangat miris pada hatinya.
"Ara kenapa nangis terus, hmm? Ada yang sakit kah?" tanya Aksa begitu khawatir dengan kondisi sang sahabatnya ini. Dulu ia mengenal Kiara adalah wanita periang, dan sekarang ia seringkali mendapati buliran bening dan bukan lagi tawa manis itu.
Kiara menggelengkan kepalanya, dengan raut wajah sendu ia menatap manik Aksa dalam-dalam. Ingin rasanya untuk berbicara tapi cukup sesak bahkan sekedar untuk membuka suara.
"Tadi Bibi bilang Ara mau pergi keluar yah, hmm?" Aksa kembali bertanya pada Kiara dengan suara yang sangat lembut.
Kiara menatap Aksa dengan sesenggukan dan mata yang mulai memerah. Ia ingin sekali mengadukan semua rasa sakit ini pada sang sahabat, tapi kembali lagi dengan air mata yang mewakili perasaannya.
"Aksa," panggil Kiara dengan suara cukup lemah.
Aksa menampilkan senyum manis untuk sang sahabat. "Iya, Aksa ada di sini kok. Kenapa?" tanya Aksa dengan tangan terulur untuk menghapus kembali air mata yang seakan tidak berniat untuk henti sama sekali itu.
Kiara berusaha untuk menarik napas dan ingin mengisi paru-parunya dengan oksigen yang selama ini masih membuatnya bisa hidup di dunia brengsek nan kejam. "Aksa ... apa boleh Ara minta peluk? Dada Ara sakit sekali," lirih Kiara dengan menepuk pelan dada yang terasa nyeri, seolah ada suatu hal tertancap kuat di dalam sana.