Kiara menatap rumah dari seberang jalan, dan ia memperhatikan dengan seksama orang-orang tengah duduk santai sembari tertawa ria pada pelataran teras.
Mengulum senyum meski dada merasakan sesak yang tak terhingga, tapi ia segera menepis perasaan tersebut dan tidak mau membiarkannya tumbuh hingga akan menghabisi diri sendiri perlahan-lahan.
Aksa memperhatikan bola mata Kiara yang tengah mengarah pada rumah cukup mewah tersebut, dan di sana terdapat orangtua beserta adik dari wanita yang duduk di sampingnya saat ini.
"Apa lo mau masuk ke sana, Ara?" tanya Aksa pada sang sahabat yang memberikan jawaban dengan gelengan pada kepalanya. "Lo yakin mau nunggu di sini?" tanya Aksa dengan kerutan pada kening. Ia sedikit merasa bingung dengan sang sahabat yang katanya merasa rindu tapi hanya bisa memperhatikan dari jarak jauh saja.
Kiara menatap manik Aksa yang tengah memperhatikan dirinya saat ini. "Gak, Aksa! Gue lebih memilih untuk memperhatikan mereka dari jarak jauh saja, bukan gue gak berani, tapi ... gue pengen ngeliat senyum bahagia mereka ... tanpa hadinya gue di sana."
Kiara kembali menatap semua orang yang tengah bercengkrama ria di pelataran rumah tersebut. Sesekali ikut tersenyum, dan menepis semua perasaan sakit yang bergumul dalam jiwa.
Kiara berpikir, tidak masalah jika harus diusir dari rumah tersebut, asalkan jaminannya adalah mereka tertawa bahagia. Namun, saat melihat wajah berseri dengan senyum atau suara tawa terbit pada bibir mereka, entah kenapa di kedalaman hati merasakan kesakitan.
"Aksa, coba lo liat ke sana." Kiara menunjukkan tangan ke arah keluarganya yang tengah berbahagia saat ini. "Mereka terlihat sangat bahagia dan seolah tak memiliki beban sama sekali, gue gak mau merusak senyuman itu dengan hadirnya gue di hadapan mereka semua. Lagi-lagi kondisi melempar gue ke jurang yang gak pernah sama sekali diinginkan."
Kiara mengusap pipinya yang kini kembali basah sebab netra yang menumpahkan cairan bening. Ia berbohong jika berkata baik-baik saja, meski keadaan selalu berbanding terbalik dengan apa yang diucapkan oleh mulut. Mungkin semua orang hanya akan mempercayai dengan apa yang diucapkan oleh mulut, lain halnya dengan hati yang perih.
Aksa menengok ke arah keluarga Kiara yang memang benar sangat terasa bahagia sekali, mereka tertawa seolah tak memiliki beban sama sekali, lepas dan sangat puas. Entah apa yang membuat mereka begitu bahagia dan melupakan sekeliling.