Aksa menghela napasnya. "Demi apa pun tidak ada orang yang bahagia kala melihat sahabatnya sendiri tengah terluka seperti ini, Kiara!"
"Apa lo ngira gue sejahat itu, Ara?" tanya Aksa tegas.
Aksa bahkan bisa dibilang ia adalah orang yang paling sedih saat melihat Kiara yang tengah sakit seperti ini, sedangkan ia bingung mau membantu yang seperti apa selain menuju rumah sakit dan melakukan terapi agar sarafnya bisa berfungsi dengan baik seperti semula.
Kiara memandang Aksa intens. Suara musik yang terdengar begitu nyaring, dan juga suara-suara orang yang berlalu lalang tak dihiraukan sama sekali.
Kiara merasa apa yang diucapkan oleh Aksa kemungkinan benar, mungkin hatinya saat ini terlalu sensitif hingga bisa berbicara ngawur seperti itu.
"Gue salah, dan gue minta maaf," ucap Kiara dengan suara lirih.
Aksa menggeleng pelan. "Lo wajar ngomong seperti itu, dan gue maklumin itu."
"Sekarang lo jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi, dan mari berbahagia untuk malam ini," ajak Aksa dengan senyum yang mengembang pada bibirnya.
Aksa menarik bibirnya untuk tersenyum simpul, dan sedikit menghibur Kiara yang tengah bersedih saat ini. Ia tau apa yang ada di dalam hati sahabatnya saat ini, tak lain adalah keluarganya.
Kiara masih menundukkan wajahnya. Alunan musik yang terus menerus terdengar pada telingannya, sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia tidak perduli dengan sekitar, karena menurutnya ada yang lebih penting dari ini, tetapi tidak tau apa itu.
Aksa terus menerus memperhatikan Kiara yang terdiam dan tak banyak bicara. Biasanya ketika mereka ada di tempat ini, suara tawa ceria dari sahabatnya ini begitu mendominasi.
"Lo lagi mikirin apa sih, Ara?" tanya Aksa pelan.
Kiara mendongak dan menatap Aksa. "Gue mau pulang, Aksa."
"Gue mau pulang sekarang, di sini tidak nyaman."
Aksa menarik napasnya, dengan dahi yang mengerut. "Tidak seperti biasanya," batin Aksa.
"Okey, kita pulang sekarang. Tapi sebentar gue pergi ke kasir dulu," ucap Aksa pada Kiara.
Aksa beranjak dari tempat duduknya, dan mulai berjalan meninggalkan Kiara sendirian di meja 016 belas tersebut. Letaknya yang berada di sudut ruangan, dan tepat menghadap ke arah jalan raya.
Kiara hanya diam dan menunggu Aksa selesai dengan urusannya. Ia memandang jalan raya yang terlihat sedikit lebih ramai dari biasanya, mungkin saat ini orang-orang yang melembur di kantor baru pulang, pikirnya.
Selesai membayar semua makanan di kasir, Aksa kini menghampiri Kiara yang diam memperhatikan jalan raya.