Anindita berdecak keras. Ia menatap Kiara dengan pandangan remehnya, jujur merasa malas. Meski sangat sadar jika itu adalah anaknya juga, tetapi kala melihat kondisi fisiknya menjadi enggan.
"Kamu sadar diri tidak sih, Kiara? Lihatlah, kondisi kamu sekarang seperti apa?" bentak Anindita dengan wajah merah padam.
"Kiara sangat sadar kok, Bu." lirih Kiara dengan kepala yang tertunduk. "Apa ... Angel malu karena itu?" tanya Kiara dengan lemah.
Aksa hanya diam memperhatikan dua orang perempuan antara ibu dan anak tengah membahas hal yang tidak sepantasnya. Ia jujur tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Aninidita saat ini, kenapa berbicara dengan seenaknya seperti itu? Apa sama sekal tidak memikirkan bagaimana perasaan dari Kiara saat ini.
Anindita memandang Kiara tajam, bak elang yang tengah mengawasi mangsanya. "Iya, kamu tepat sekali!"
"Bisa tidak kamu jangan buat malu adik-adik kamu itu? Ya ... misalkan bertemu di jalan, pura-pura tidak mengenal saja itu lebih baik." Anindita memberikan saran yang menurut Kiara itu sangat aneh.
Kiara menggeleng lemah. "Bukankah Kiara ini Kakak mereka? Kenapa harus malu hanya karena kondisi seperti ini? Kenapa kalian tida perduli dengan kondisiku sama sekali?" tanya Kiara bertubi.
Pelupuk mata Kiara sudah mengeluarkan cairan bening. Ia tidak tahan untuk terlihat baik-baik saja, karena pernyataan tersebut sudah sangat melukai hatinya.
"Sudahlah, Kiara! Kamu itu terlalu bersandiwara, dan aku muak rasanya."
Anindita kini mengalihkan tatapannya pada Aksa. "Aksa, jaga dia baik-baik."
"Pasti!" Aksa menjawabnya dengan sangat mantap.
Anindita memandang Kiara dengan remeh. Tanpa berpamitan dengan Aksa ataupun juga anaknya, ia langsung melenggang pergi dari rumah tersebut.
Kiara menengok ke belakang, dan melihat Anindita yang pergi menjauh. Air matanya terus menerus jatuh, dan ini semacam mimpi.
"Aksa! Tolong antar gue ke kamar ya," ucap Kiara dengan suara serak, dan menatap wajah Aksa yang teduh.
Aksa mengangguk dengan tersenyum tipis. "Ayo! Kamu tidur dan lupakan ucapan dari Ibu tadi."
"Iya, Aksa!"
Aksa kini kembali mendorong kursi roda dari Kiara. Ia masuk ke rumah lebih dalam lagi, dan berhenti di depan pintu kamarnya yang terdapat ukiran kayu khas jepara.
Kiara hanya diam dan tidak banyak berbicara sama sekali. Ia merasa tidak ada mood sama sekali dan pikirannya selalu saja memikirkan semua ucapan yang terlontar dari mulut Anindita, itu keterlaluan dan sekaligus memang faktanya seperti itu.