Bus itu melaju membelah rimba kanan-kiri jalan raya. Sesekali melewati pemukiman penduduk, pabrik, pasar, aliran sungai yang dibelah jembatan, kebun sawit dan kebun karet yang membentang luas. Melewati padang ilalang yang menari tertiup angin, semak-semak belukar, bukit kecil kecokelatan. Mengikuti irama berkelok jalan raya. Membelah pesisir timur Sumatera.
Seorang pemuda berambut ikal duduk di dalamnya. Sorot mata tajamnya menatap keluar jendela. Memandangi jengkal demi jengkal bahu jalan yang telah dilewati. Menatap hamparan luas tanah leluhurnya, tanah yang telah mengajarinya cara mengenal hidup dan harapan. Tanah yang mengenalkannya pada pelepah-pelepah sawit yang jatuh sebab menua, serta daun kering berserakan di bawah pohon karet yang kulitnya rusak oleh goresan paek.1
Goresan di kulit pohon karet seperti lilitan tali itu, adalah sumber kehidupan orang-orang di dusunnya. Dari pohon bergetah dan berbau menyengat itu pula orang tuanya mengais rezeki bagi keluarganya yang sederhana, memutongnya2 setiap pagi hingga matahari menyongsong tinggi. Melawan gigitan kawanan nyamuk di tengah hamparan kebun membentang luas.
Pemuda itu ingat, setiap pagi ketika kecil dulu ia harus melawan hawa dingin menusuk kulit, menyiram tubuhnya dengan air teramat dingin, air yang mengalir dari guntung di belakang rumahnya. Bersama ayah dan emaknya, dalam remang-remang cahaya fajar ia berjalan melewati rimbun bambu. Menuruni guntung3 curam itu membawa kain lusuh, handuk dan perlengkapan mandi. Menimba air dari dam kecil penampungan, menyiram seluruh tubuhnya sambil menahan dingin.
Setelah selesai, ia kembali ke rumah, bersiap melaksanakan salat subuh berjamaah bersama ayah dan emaknya, mengetuk pintu langit memohon rahmat dan belas kasih Tuhan Sang Pencipta. Doa-doa dipanjatkan menjadi nyanyian sepanjang subuh.