Bus itu terus melaju. Baru saja melewati pasar di tengah-tengah Kota Batu Raja, sebuah kota di pesisir Sumatera Selatan.
Musik minang mengalun. Beberapa penumpang tertidur pulas pada sandaran kursi masing-masing. Beberapa sedang asyik mengobrol dengan penumpang di sebelahnya. Sebagian lelaki pindah ke ruang bebas merokok, menikmati gulungan berisi tembakau sembari mengobrol dengan sesama perokok.
Pemuda itu, pemilik sorot mata tajam titisan cahaya bulan purnama bernama Yahya Saputra, anak dari Cik Husen dan Mak Zizah itu masih terdiam. Pikirannya masih terjebak pada cerita-ceritanya sendiri. Tentang kehidupannya yang telah direnggut tangan-tangan jahat, hingga ia dengan terpaksa harus pergi dari dusun yang ia cintai.
****
Pakcik Rozak dan Datuk Syamsudin menikmati sebatang rokok dan kopi di hadapan mereka. Sejak tadi mereka sedang asyik membahas kabar terkini mengenai pemilihan Datuk Rio Dusun Babeko yang rencananya akan dilaksanakan dua bulan lagi. Duduk pula bersama mereka Pak Asep dan Pak Heri menyimak serius.
“Menurut kabar, Cik. Haji Akbar akan maju sebagai calon datuk rio,” ucap Datuk Syamsudin sembari menghisap rokoknya.
“Waduh, Ini tentu bahaya untuk dusun kito, Cik! Kau tau kan siapo Haji Akbar tu sebenarnya. Menurut aku dan mungkin seluruh warga dusun ni, dio tuh dak cocok la jadi datuk rio. Reputasinya jelek. Yo, walaupun dio tuh orang kaya raya sekali pun,” sambung Datuk Syamsudin.
Pakcik Rozak, Pak Asep dan Pak Heri mengangguk mengiyakan.
“Tapi kek mana lagi, Tok. Bukan Haji Akbar bae yang buruk reputasinya. Tapi Haji Salim yang seminggu lalu baru mencalonkan diri pun, buruk juga reputasinya. Siapa yang bisa percaya pada Haji Salim tu, jelas-jelas pernah merebut tanah saudara kadung sendiri,” tanggap Pakcik Rozak.
“Makanya, Cik. Kita harus usulkan satu calon lagi. Orang yang memang pantas dan bisa dipercaya oleh semua warga dusun ni, mungkin seperti….”
“Seperti siapo, Tok?” tanya Pak Heri sembari menghembus asap rokok dari mulutnya.
Datuk Syamsudin terdiam. Ucapannya terpotong. Dalam hatinya dirasakan betul kekhawatiran yang mungkin juga dirasakan oleh seluruh warga dusun tentang siapa yang akan memimpin mereka lima tahun ke depan.
Sulit mencari orang yang bisa dipercaya. Banyak orang kaya memamerkan rasa kasihan pada orang miskin, namun setelah itu, mereka perluas pundi-pundi kekayaan dengan mengorbankan orang-orang yang pura-pura mereka kasihi, bersembunyi di balik topeng kebaikan. Banyak ahli agama, malah memanfaatkan kepercayaan masyarakat untuk mendapat keuntungan, memperkaya diri dan mendapat jabatan. Itulah yang terjadi saat ini.
Datuk Syamsudin menghela napas. Ia terus berpikir tentang siapa yang pantas memimpin mereka lima tahun ke depan. Pakcik Rozak, Pak Asep dan Pak Heri juga terlihat semakin gelisah. Semua terdiam.
“Tok!” Pak Heri memandang ke arah Datuk Syamsudin. Yang dipandang menoleh penuh tanya. ”Bagaimana kalo seandainya kita calonkan Cik Husen saja untuk menjadi salah satu calon datuk rio?” lanjut Pak Heri.
Semua kepala terangkat.
Semua mata menatap Pak Heri.
Semua bibir tersenyum.
Semua yang berada di warung itu mengenal betul siapa nama yang baru saja disebutkan Pak Heri. Dialah Cik Husen, menantu Almarhum Ustaz Hakim. Seorang lelaki yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, yang hidup sederhana dan ramah pada semua tetangga. Seorang yang setiap hari selalu menyapa dengan senyum jika bertemu para tetua. Seseorang yang selalu merendah diri, tak mau dipuji. Yang selalu berusaha menyenangkan tetangga, memberikan pertolongan saat dibutuhkan, datang saat diharapkan.
Obrolan siang itu di warung Makcik Zam, beberapa warga telah bersepakat memutuskan masa depan Dusun Babeko. Tentang dicalonkannya seorang yang dipercaya untuk memimpin lima tahun ke depan.
****
Cik Husen kanget tak percaya. Ketika Pak Heri dan Pak Asep mendatanginya sebagai perwakilan sebagian warga. Dari Pak Heri dan Pak Asep, Cik Husen tahu bahwa separuh lebih warga dusun di tempat tinggalnya menginginkan ia untuk maju sebagai calon datuk rio di pemilihan satu setengah bulan lagi. Bahkan Pak Heri mengatakan, bahwa uang untuk pendaftaran sebagai calon datuk rio telah terkumpul dari iuran warga.
Cik Husen tak menyangka. Wajahnya pucat.
“Kenapa harus awak, pak? Apakah tak ada orang lain? Bukannya dua orang yang sudah jadi calon itu orang-orang baik? Haji Akbar dan Haji Salim, bukankah mereka orang-orang baik yang pantas memimpin dusun kita ni?” Cik Husen menunduk, Pak Heri dan Pak Asep terus memandanginya.
Dari belakang Mak Zizah muncul membawa nampan berisi tiga gelas teh, meletakkannya dengan pelan di atas meja. Sebentar kemudian kembali ke belakang menemani Yahya yang sibuk menggali lubang di belakang rumah. Lubang untuk pengumpul getah karet.
“Kami tahu pakcik akan berkata seperti itu,” Pak Heri tersenyum, “begini cik, warga di Dusun Babeko ni bisa menilai siapa yang layak untuk menjadi datuk rio dan siapa yang tidak. Bagi kami, orang yang pantas memimpin kami lima tahun ke depan adalah Cik Husen. Kami Cuma minta persetujuan Cik Husen, itu saja. Dan juga beberapa lembar foto copy ijazah serta foto 3x4 sebagai persyaratan pencalonan.”
“Tapi ini bukan sekedar tentang pencalonan, Pak!” tanggap Cik Husen. Ia menghela napas sebentar. Menatap kedua tamunya.
“Ini masalah tanggung jawab. Seorang datuk rio adalah pemimpin bagi masyarakatnya. Itu artinya dia harus bertanggung jawab kepada seluruh masyarakat dusunnya, Pak. Sedangkan awak, benar-benar tidak pantas menjadi seorang yang diamanahi sebesar itu, Pak,” lajut Cik Husen.
Kedua tamunya terdiam. Pak Heri dan Pak Asep terdiam.
Setelah beberapa saat waktu terasa senyap, Cik Husen mempersilakan kedua tamunya untuk meminum teh yang tergeletak di atas meja.
Pak Heri berdeham sebentar. Lalu kembali menatap Cik Husen.
“Begini saja, Cik. Warga telah sepakat dan setuju untuk mencalonkan Pacik. Waktu pencalonan tinggal seminggu lagi, uang untuk pendaftaran pun sudah terkumpul.” Pak Heri diam sejenak menghela napas.
“Silakan Cik Husen Istikharah. Kami akan menunggu keputusan. Kami mohon jangan sia-siakan kepercayaan warga pada Pacik. Dan kami mohon, selamatkanlah masa depan dusun kita ni,” lanjut Pak Heri sembari menatap Cik Husen.
Di luar rumah, matahari terus memancarkan cahayanya yang keemas-emasan. Beberapa daun kering berjatuhan dari pohon nangka yang tertiup angin. Setelah basa-basi beberapa saat, akhirnya siang itu Pak Heri dan Pak Asep berpamitan. Mereka tersenyum penuh harap meninggalkan Cik Husen yang dilanda kebingungan.
****