Malam makin larut. Tapi para penonton tak juga beranjak. Makin malam kaki-kaki para penonton seakan makin dalam tertancap di tanah. Pertunjukan Kesenian Ronggeng Gunung malam itu telah dinanti banyak orang, memenuhi dahaga mereka akan hiburan. Menikmati pergelaran Ronggeng Gunung tak sekedar menonton penari, tetapi juga masing-masing punya misi dan tujuan sendiri-sendiri. Ronggeng Gunung telah mengikat berbagai kepentingan sejak dahulu kala hingga kini.
Encep ingat benar saat kecil dulu. Kesenian Ronggeng Gunung tak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi sebentuk kesenian yang mengantarkan upacara adat seperti menyambut panen, menerima tamu agung, perkawinan juga khitanan. Mata Encep mengerjap saat gambar kenangan sekonyong-konyong mengisi pandangan, saat seorang lelaki tua membawa sesajen ke tengah lapang. Encep ingat benar dalam nampan sesajen itu berisi kue kering tujuh macam dan tujuh warna, kemudian sesisir pisang emas, rokok dan perlengkapan berdandan perempuan seperti cermin dan sisir.
Tapi malam ini tak ada sesajen, Nini Saenah sebagai ronggeng sepuh juga tak ikut hadir. Malam ini yang akan menjadi pusat perhatian adalah Ningsih, istri Encep, sebagai ronggeng utama dibantu dua ronggeng lainnya. Encep tengadah menatat langit. Malam pekat. Sejumlah obor sebagai satu-satunya penerang hanya serupa kerlip mata anak gadis di cakrawala tak meninggalkan kesan apapun. Encep terus tengadah berharap ada satu saja kerlip bintang sebagai penanda malam ini tak akan turun hujan. Lalu silih berganti antara mencuri pandang pada yang punya hajat dan menatap langit. Langit tetap pekat dan yang punya hajat tetap semringah.
Serupa seekor macan dikembalikan ke belantara, kesenian Ronggeng Gunung selalu memiliki daya magis sempurna saat dipergelarkan di habitatnya. Irama sederhana yang dihasilkan dari perangkat musik kendang, gong dan bonang (ketuk) itu selalu berhasil menggetarkan hati penonton.
Ningsih, Juang dan Acih berdiri dalam posisi “daweung” yaitu berdiri di samping nayaga dan siap membuka pertunjukan. Penonton mulai saling berdesakan. Malam itu yang punya hajat boleh bergembira karena tak ada pertunjukan kesenian lain seperti organ tunggal di kampungnya maupun kampung tetangga, sehingga penonton bisa tumplek ke halaman rumahnya. Dia pantas berbangga hati sebab apa yang sedang dipamerkan di rumahnya bisa diketahui orang lebih banyak lagi.
Ningsih siap menyanyikan lagu “Kudup Turi” sebagai pembuka pertunjukan. Lagu ini dikenal sebagai lagu lulugu baik saat pentas Ronggeng Gunung untuk hiburan maupun untuk acara sakral. Lengkingan khas ngalaeu terdengar dari mulut Ningsih, ronggeng senior diantara kedua temannya. Selama menyanyikan lagu pembuka ini penonton tak diperkenankan ikut menari.
“Ya kudup turi. Madodok wulan dadari. Aya kedok da lilir kempi. Kedoke panas manari. Mikiri bujang sing miki...” [1]
Selesai melantunkan lagu “Kudup Turi”, Ningsih, Juang dan Acih mengelilingi arena pergeleran, lalu berhenti di tengah. Seiring suara kendang, bonang dan gong, ketiganya mulai menggerakan tangan dan kaki. Tembang-tembang lain keluar dari mulut Ningsing, melengking menembus langit. Penonton mulai tak sabar ingin segera ikut menari. Teriakan-teriakan menggoda mulai terdengar kendati tak jelas keluar dari mulut siapa.
Pemangku hajat berdiri di teras berkacak pinggang. Dia terlihat seakan menikmati pergelaran Ronggeng Gunung malam itu. Padahal sejatinya dia sedang memerhatikan para penonton, seberapa banyak yang melihat apa yang ada di dalam rumahnya. Seketika dia masuk ke ruangan tamu tempat anak sunat dan segala kemewahan sedang dipertontonkan. Pemangku hajat yang rumahnya paling mewah diantara rumah sekitar dengan halaman sangat luas itu tampaknya kecewa. Dia lupa bahwa malam itu yang jadi bintang tak ada siapapun selain ronggeng. Sehingga yang hadir di halaman rumahnya tak ada minat untuk memerhatikan kemewahan di dalam rumah.
“Kenapa mereka tidak berjejer ka samping, sehingga bisa melihat apa yang sedang kita pertontonkan juga,” gerutu pemangku hajat kepada pembantunya. Sang pembantu hanya bisa meniru tekukur, mengangguk-angguk tanpa makna. Kendari sudah tidak muda lagi, tapi kelihatanya pemangku hajat tak mengerti benar tentang pertunjukan Seni Ronggeng Gunung yang senantiasa mengikuti pola baku, berbentuk lingkaran, lalu di salah satu titik lingkaran itu berada ronggeng dan nayaga. Penabuh bonang dan kendang saling berhadapan, sedangkan pemukul gong berada di posisi lain sehingga kalau dilihat dari atas, ketiga posisi penabuh waditra itu membentuk segitiga.
“Ladrang, Nyai,” teriak salah seorang penonton dari belakang, diikuti riuh penonton lain meminta Ningsih melantunkan tembang Ladrang. Ningsih mengangguk genit ditingkahi riuh suara penonton. Juang dan Acih melakukan laga serupa tetapi yang menjadi pusat perhatian tetap saja Ningsih Sang Idola.
Pemangku hajat kembali ke teras depan. Pendengaranya terlampau akrab dengan lagu itu. Dia ingin juga menikmati kendati separuh hatinya kecewa karena apa yang turut dipertontonkan di dalam rumah tak mendapat tanggapan sesuai yang diinginkannya. Jauh ke belakang saat masih belia, pernah mendengar ayahnya mengatakan betapa beratnya seorang remaja putri untuk menjadi seorang ronggeng. Selain pandai menari juga harus memiliki suara merdu dan nafas panjang.
“Seorang ronggeng harus kuat lahir dan batin. Selain rutin puasa, dia juga harus menggurah tenggorokan agar memiliki suara merdu dan nafasnya panjang. Kekuatan ronggeng itu pada penguasaan tinggi rendahnya suara. Jangan kau anggap enteng itu. Bila kau punya niat nanggap Seni Ronggeng Gunung, jangan kau pandang enteng karena perempuan itu tetanggamu. Tetapi lihatlah bahwa yang sedang menari adalah Nini Bogem. Beliau tak lain adalah Dewi Samboja yang sedang menyamar.”
Pemangku hajat seketika terkesiap. Gambar kenangan saat ayahnya bercerita tentang kisah Ronggeng Gunung tergambar nyata. Lalu dia memilah diantara gambar yang berseliweran itu. Kesenian Ronggeng Gunung berkait dengan kisah Dewi Samboja.
“Alkisah, Dewi Samboja putri ke-38 Gusti Prabu Siliwangi itu menaruh sakit hati. Kau tahu kenapa?”
Pemangku hajat seketika menggeleng. Dia sedang merasa berada pada waktu ayahnya bercerita tentang Seni Ronggeng Gunung.
“Suatu ketika Prabu Angkalarang suami Dewi Samboja mati terbunuh oleh Kalasamudra. Kalasamudra itu pemimpin kelompok bajak laut dari seberang yang sangat ditakuti karena kesaktian dan kebengisannya.”
“Betapa sedihnya Dewi Samboja.”
“Tentu saja. Dewi Samboja tak kuasa menahan pilu karena pria yang dicintainya itu terbujur kaku berkalang tanah. Berhari-hari Dewi Samboja bermuram durja. Sedih tetapi juga marah. Sampai suatu ketika datang wangsit dari ayahandanya.”
“Wangsit Siliwangi yang jadi uga itu?”
“Bukan. Ini semacam petunjuk ke dalam hati Dewi Samboja. Bahwa untuk dapat membalas rasa sakit Prabu Angkalarang, Dewi Samboja harus menyamar jadi Nini Bogem, seorang penari ronggeng.”
“Malam ini Ningsih yang akan menjadi penari lulugu. Jelmaan Dewi Sambojakah dia?” pikir pemangku hajat. Matanya nanar memandang ke tengah halaman rumahnya. Ningsih dan dua orang penari lainya sedang menari sambil menyanyi. Dia ingat bagaimana ayahnya meneruskan kisah Dewi Samboja itu. Setelah mendapat wangsit, segera Dewi Samboja belajar menari dan bela diri. Sampai tiba waktunya rombongan ronggeng Dewi Samboja berkesempatan manggung di tempat Kalasamudra. Pada satu kesempatan Nini Bogem alias Dewi Samboja menari bersama Kalasamudra. Malam itu Dewi Samboja menuntaskan dendam atas kematian suaminya. Dalam satu perkelahian sengit, Dewi Samboja berhasil melumpuhkan Kalasamudra.