Malam itu. Hujan juga mengguyur kampung lain. Nonon terlelap saat hujan turun. Petir dan sambaran kilat membangunkan anak itu. Anak perempuan bermata polos itu duduk di atas tempat tidur. Samasekali tak tersirat rasa takut kendati tidur sendiri di tengah hujan deras dan desau angin bukit. Air hujan menitik ke kepalanya. Anak itu menatap langit-langit yang bocor. Titikan air hujan itu makin lama makin kerap. Nonon turun dari tempat tidur, melirik kiri dan kanan mencari Ningsih. Ketika yang dicaritanya tak ditemukan, dia kembali menatap langit-langit, menengadahkan tangan menampung air hujan. Dalam waktu singkat air di dalam tangannya makin banyak. Nonon bingung akan diapakan air dalam rangkuman tangannya itu.
“Ih…banyak airnya!” seru Nonon.
Suara itu menggema hingga seakan terdengar oleh Ningsih nun jauh di sana. Ningsih dipeluk erat Encep, berdiri di pinggir rumah pemangku hajat. Keduanya menggigil, bibirnya bahkan terlihat kebiruan tersorot cahaya lampu dari atas langit-langit. Keduanya tak berani naik ke atas teras rumah pemangku hajat, bergabung dengan teman-temanya. Tubuh yang kuyup menahan keduanya untuk tetap berdiri di pinggir rumah.
Di teras agak menjorok terlihat Pandi, Manap, Sonari juga Juang dan Acih menikmati kepulan kopi pahit yang disediakan pemangku hajat. Beberapa orang di dalam rumah bahkan terlihat sedang bermain-main dengan asap rokok. Encep makin terlihat menggigil, dan Ningsih merapatkan tubuhnya. Nini Saenah lenyap entah ke mana. Padahal saat berdebat dengan pemangku hajat, Nini Saenah berdiri di tempat Ningsih dan Encep sekarang berdiri. Tak ada seorangpun yang mengetahui kedatangan dan kepergian Nini Saenah. Malam itu Nini Saenah serupa jalangkung – datang tak diundang dan pergi tak diantar.
“Keringankan tubuh kalian! Habis itu masuklah! Kopi pahit dan makanan di dalam tersedia,” ujar Pemangku hajat berbaik hati sambil melemparkan dua handuk kecil.
“Terima kasih Pak Haji,” getar Ningsih hampir tak terdengar.
“Hatur nuhun.” [1] Encep ingin menegaskan suara istrinya. Tetapi karena sama-sama menggigil, suaranya nyaris tak terdengar pula.
Pemangku hajat mengangguk, lalu beranjak meninggalkan keduanya.
Dengan handuk kecil Encep mengeringkan rambut dan tubuhnya. Tetapi ketika Encep menyodorkan handuk kecil pada Ningsih, perempuan itu menolaknya. Tangan Encep terdiam pada posisi menggantung.
“Biarkan saya kedinginan! Seperti juga Nonon malam ini kedinginan. Ia sendirian di rumah.”