Siang yang hangat. Di sebuah bukit tak jauh dari air terjun, Nonon berdiri. Wajahnya kuyup tersaput embun basah air terjun yang terbawa angin. Tapi anak itu samasekali tak peduli. Dia demikian menikmati pemandangan sekitarnya. Mungkin sedang memikirkan sesuatu. Lalu Nonon berlari-lari di jalan setapak. Selendang yang dililitkan ke leher itu menari-nari dipermainkan angin. Nonon naik turun bukit, berlari-lari kecil dan selendang semakin menari-nari menghadirkan pemandangan yang memesona.
Keceriaan Nonon tak diimbangi Ningsih, ibunya. Saat hangat siang itu, Ningsih justru hanya mematung di ambang jendela rumah panggungnya. Sinar mentari yang menyapa teralis kayu itu tak membuatnya ceria. Sinar itu dibiarkan membias kemana-mana. Dari sorot mata bulatnya perempuan ini sedang gundah. Peristiwa malam lalu masih terus membekas. Langit yang tiba-tiba mengucurkan air deras masih terasa dinginnya mengusap kepala dan sekujur tubuh.
Di halaman rumah yang tak seberapa luas, awalnya tak ada apa-apa. Tetapi saat Ningsih beranjak seketika saja dia melihat Nonon sedang menari. Ningsih menggosok-gosok matanya seakan tak percaya dengan penglihatanya. Namun saat membuka mata kembali, di halaman kini terlihat anak-anak duduk membentuk lingkaran dan Nonon menari di dalam lingkaran itu. Sesaat Ningsih hanya terpaku. Dia mengerjap. Saat membuka mata kembali di halaman sudah tak ada apa-apa, tak ada Nonon, tak ada anak-anak yang duduk melingkar. Ningsih terkesiap. Dia berlari ke arah pintu.
“Non…Nonon? Ih…ini mah anak-anakan. Dimana kamu teh, Non?”
Ningsih mematung, mengingat-ingat sesuatu, lalu mengangguk-angguk. Ningsih berjalan ke arah kamar, menyingkapkan kain penutup pintu pelan-pelan.
“Ciluuuk…Ba!”
Tak dilihatnya Nonon ada di dalam kamar. Kain penutup pintu itu disingkap lebar-lebar, tapi tak ada Nonon di kamar. Tempat tidur terlihat masih rapih. Boneka kesayangan Nonon tergolek di sudut tempat tidur. Pandangan Ningsih begitu saja nanar.
“Nonooon....”
Tak terdengar Nonon menjawab panggilan ibunya.
“Non? Nonooon....”
Nonon masih menari di bukit dengan selendang kebanggaannya. Tiba-tiba angin berputar kencang. Mungkin akan turun hujan. Selendang Nonon terus berputar ditiup angin tanpa bisa dikendalikan. Tangan mungil Nonon terlalu lemah untuk menahan selendang agar tak lepas dari genggamannya. Selendang itu sesaat kemudian terlepas, lalu berputar di udara. Nonon memandangnya pilu. Tangan mungil meronta-ronta ingin menggapai selendang yang terlepas itu.
Pada saat termangu memandang selendang yang terus menjauh, Nonon seakan mendengar gema suara ibunya. Anak itu seperti mendapat pertolongan. Ia bangkit, berputar mencari arah datangnya suara.
“Maaaakk....Emaaakk...”
Tak ada suara Ningsih. Ningsih masih di rumah. Jarak dari bukit ke rumah cukup jauh.
Selendang Nonon terus menari mendekati air terjun. Kini gerakannya terlihat melambat karena beban embun air terjun. Akhirnya di atas batu sungai yang tak tersentuh air, selendang itu jatuh, sebagian ujungnya masuk ke dalam sungai, membasah, lalu terbawa hanyut dan akhirnya tersangkut di ranting. Nonon mematung, memandang sedih selendangnya yang jatuh ke sungai. Selendang itu makin jauh dari jangkauannya. Dia tak punya cukup keberanian untuk turun ke sungai. Akhirnya Nonon duduk termangu. Matanya mulai basah.
Dalam pandangan matanya yang basah, selendang itu kembali menari-nari. Tetapi Nonon tak berniat untuk meraihnya. Kini kedua tanganya memegang erat kakinya. Entah pernah melihat atau mendengar cerita dari kedua orang tuanya, selendang yang seolah-olah menari di hadapannya itu kini berubah jadi sosok perempuan cantik yang sedang menari, mempermainkan selendang. Sayup-sayup Nonon juga seakan mendengar musik pengiring Seni Ronggeng Gunung. Selendang dalam Seni Ronggeng Gunung selain kelengkapan menari, juga berfungsi untuk menggaet laki-laki yang ikut menari, sebagai simbol ajakan untuk menari bersama. Selendang itu biasanya dikalungkan pada leher lelaki yang sedang jadi incarannya. Dan Nonon tentu saja tidak mengerti semua itu. Dia hanya sedang sedih karena selendang kesayangannya terjatuh ke sungai.
“Karembong[1] Nonon, Mak! Karembong Nonon, jatuh, Mak!” gumam Nonon.
Kesedihan Nonon saat itu seperti dirasakan pula oleh Ningsih. Perempuan sintal itu berlari ke sana-ke mari, mengitari setiap sudut rumahnya. Setiap sudut rumah diperiksanya, dengan harapan akan menemukan Nonon yang sedang sembunyi.
“Nonon … kemana atuh kamu teh? Tidak biasanya main jauh.”
Ningsih terlihat bingung. Berpikir sesuatu. Tapi segera pikiran itu ditampiknya sendiri.
“Oh, tidak! Tidak mungkin. Nonon tidak akan berani ke sana.”
Ningsih berdiri di ambang pintu. Dari pinggir rumah muncul Encep memanggul cangkul. Ningsih menatapnya nanar. Untuk menanyakan dimana putrinya, Ningsih tak cukup punya keberanian. Diam-diam mencuri pandang. Ningsih sekonyong-konyong kelu. Makin bertambah hari Encep terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tubuhnya juga terlihat semakin ringkih.
“Kang...” batin Ningsih tak terlisankan. Ada yang menyekat di kerongkonganya, sehingga kata itu tertelan kembali, lalu lesap.
Encep sendiri samasekali tak merasa bahwa dirinya sedang dipikirkan Ningsih. Melihat istrinya berdiri di ambang pintu, dia justru mengira istrinya sengaja menyambutnya.
“Teman-teman nanti malam mau ngumpul. Mungkin ba’da isya atau ba’da maghrib. Akang nggak begitu banyak nanya tadi.”
“Apa ada yang ngundang kita?”
“Akang pikir bukan masalah itu!”
Encep menyimpan cangkul di tempatnya, lalu selonjoran di atas bale-bale.
“Lalu?”
“Katanya Kang Sonari mau ke Bandung, diajak jadi kuli bangunan. Bantu-bantu sodaranya yang dari Banjar,” tukas Encep, menatap istrinya menunggu bagaimana tanggapannya. Ketika istrinya diam, Encep melanjutkan omonganya; “kejadian malam kemarin itulah pangkalnya.”