Hari ini adalah salah satu dari tiga ratus enam puluh enam hari yang masuk dalam masa tahun kabisat, tahun 2004 Masehi, atau tahun 1937 Jawa.
Pada suatu pagi hari menjelang siang di pertengahan tahun 2004 ini, sudah sekitar enam sampai tujuh tahun semenjak kekisruhan krisis multidimensi yang pernah melanda Indonesia, dengan puncaknya pada tahun 1998. Suatu peri yang begitu perih, bahkan bagiku yang tak secara langsung terdampak dari peristiwa itu.
Sekarang, sudah sekitar tiga tahun semenjak aku akhirnya terbebas dari belenggu finansial yang membelut bisnis-bisnisku, yang membuatku harus melepas begitu banyak aset-asetku. Belenggu yang tadinya sempat membuatku tak menjadi lagi kalangan “Ratu” alias “penguasa atau orang kaya” menjadi kalangan “kawula” alias “orang biasa”. Belenggu yang membuat mataku harus rela tak bisa melihat lagi kekayaan yang pernah menyandang status sebagai “kepunyaan Bapak Sutikno”.
Kini, saat ini mataku sedang menyaksikan pemandangan suatu tambak ikan.
Memang, saat ini aku duduk di suatu tepi tambak ikan. Duduk di bawah atap pemancingan, dengan kursi kecil, aku menghadap perairan itu. Namun, meski di dalam air tambak itu telah dihadiri para ikan, aku tak membawa peralatan memancing sama sekali. Memang, saat ini aku tak berniat memancing ikan di tambak kepunyaanku ini.
Tambak ikan yang terletak di pinggiran suatu kabupaten ini merupakan salah satu raja darbe atau harta benda yang bisa aku dapatkan lagi setelah aku pernah mengalami fase turun takhta ekonomi. Karena terletak di pinggiran kabupaten, tentu nilai aset tambak ikan ini hanya secuil bila dibandingkan dengan harta-harta yang pernah kumiliki sebelumnya.
Aku menutup mataku, membuat citra pandangan akan tambak ikan milikku tak lagi tersalurkan ke otakku.
Tiga tahun sejak pusaran jerat moneter itu tak lagi melilit kehidupanku...... Juga sudah sekitar tiga tahun semenjak meninggalnya Ki Dwibanu.
Ki Dwibanu...... sosok itu tampil di dalam pikiranku ketika aku memejamkan mata. Aku mengenang dan berpikir, ada begitu banyak hal yang bisa dianugerahkan untuk Ki Dwibanu.