Empat nara laki-laki telah menceburkan diri mereka ke dalam sungai. Mereka menikmati tirta yang mengalir yang begitu safa. Aktivitas itu berlangsung ba’da Ashar, atau sekitar pukul tiga sore. Sudah sekitar lima belas menit, Ahan, Bagus, Eka, dan John, mengambangkan dan menyegarkan tubuh mereka di perairan yang itu.
Sungai yang ada di desa dengan ketinggian paling puncak di gunung itu cukup dekat dengan sumber mata air, jadi tentu menyediakan air yang sangat jernih. Di sungai yang mengalir ke arah Barat itu, empat pelajar tingkat tinggi itu memilih membenamkan diri di bagian yang tak terdapat banyak bebatuan. Di sisi kanan dan kiri sungai tempat mereka menceburkan diri, terdapat tanah yang cukup curam yang di atasnya ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat.
Sudah lima hari mereka tinggal di desa itu, dan berenang di sungai itu bukalah hal yang pertama kali mereka lakukan. Mereka berempat pertama kali mencoba menikmati air sungai itu pertama kali pada hari kedua.
Kini, pada suatu menit, tiga orang yaitu Ahan, Bagus, dan John, berenang berkelompok. Trio itu berenang sesuai arah aliran sungai, ke Barat. Sementara, satu orang yaitu Eka, berenang ke arah Timur, dan pada suatu detik ia berhenti.
Eka, seperti halnya Bagus, tentu melepas kacamata yang ia pakai saat berenang. Ketika itulah, mata Eka menoleh ke samping kanannya, ke arah Selatan. Mata Eka pertama melihat tanah yang curam, hal yang tentu biasa saja.
Namun, begitu kepala Eka mendongak, di balik pepohonan yang ada di bentala yang curam, mata Eka menyaksikan sesuatu yang berbeda. Mata yang mengalami rabun jauh itu mengirimkan sinyal ke otak, yang membuat Eka membatin, “Sebentar, apa itu orang?”
Eka segera berbalik, berenang ke arah Utara dengan cepat dan dalam hitungan detik sampai di tepi sungai. Di tepi, dengan segera ia menuju tasnya, mengambil kacamatanya. Ia memakai kacamata sembari kepalanya berbalik ke belakang, melihat ke arah Selatan kembali.
Namun, tak ada sosok di balik pohon lagi yang tadi nampak di mata Eka. Eka yang kemudian memutar seluruh badannya ke arah Selatan, duduk terdiam, dengan kepala yang masih mendongak. Ia masih diam saat Bagus memanggilnya. Panggilan pertama, kedua, ketiga, bersamaan saat Bagus juga telah memasangkan kacamatanya.
“Ka ... ” Bagus menyatakan panggilan keempatnya.
Ketika itu, Eka baru menoleh ke kanan, kepada Bagus. Ia menjawab, “Ada apa? Kamu memanggilku?”
“Udah empat kali sampai kamu jawab,” Bagus mendekat, dan bertanya, “Kamu kepalamu ke sana dari tadi? Lihat apa?”
Butuh tiga detik bagi Eka menyatakan apa yang ia saksikan, atau tepatnya, dugaannya, “Orang lewat saja.”
Bagus kemudian mendongakkan kepala ke arah yang sama, dan bercanda, “Atau yang kau lihat itu mungkin tak nyata, khayalanmu saja ... atau mungkin hewan langka, mungkin burung, burung puyuh begitu .....”