“Kapan mancing lagi nih, sembilan hari di sini baru sekali mancing loh?” Bagus bertanya kepada Eka.
Eka saat itu nampak telah bersiap-siap lari-lari. Selama ada waktu luang, ia memilih untuk berlari berkeliling desa. Baru sekali ia membawa alat pancingnya mencoba mendapatkan ikan di sungai.
Eka menjawab pertanyaan Bagus, “Kamu sama bapak-bapak dan mas-mas lagi saja,” dan menambahkan kalimatnya saat melihat Bagus akan angkat bicara lagi, “Alat pancingku boleh saja kau bawa buat dicoba pakai bapak-bapak atau mas-mas itu.”
Bagus merespon, “Oke deh kalau gitu.”
Setelah itu, Eka memulai aktivitas larinya seraya berpamitan pada Bagus, “Aku pergi, Gus.”
Eka tentu memberi kabar teman yang ada di posko tiap ia akan berlari menyusuri kampung. Namun ia sama sekali tak pernah memberitahu rincian ke mana rute dan tujuannya. Memang sampai hari ini Eka memilih berlari tanpa rencana jalur lintasan yang pasti, ia spontan saja menuruti keinginan kaki.
Namun, hari ini merupakan hari yang berbeda. Ia telah menetapkan, ia akan memeriksa akan terhubung ke mana jalan yang pernah dilewati mobil mewah yang ia saksikan bersama teman-temannya tempo hari.
(***)
Eka membatin, Aku sudah melihatnya. Aku bisa memastikan kalau yang kulihat barusan adalah rumah paling mewah di desa ini. Kaki Eka mengambil langkah seribu, bergerak lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan lari yang biasa ia lakukan. Menjauhi rumah yang baru ia saksikan, melewati jalan satu-satunya yang menjadi akses rumah tersebut.
Eka berlari, sementara di saat bersamaan otaknya juga terus berasumsi. Berbagai hal sabur limbur di kepala Eka.
Eka menduga mungkin dugaan John benar, bahwa mobil tempo hari memang milik pejabat, dan rumah itu juga rumah milik pejabat, serta dugaan mengapa jalanan di desa yang jauh dari hiruk pikuk ini begitu mulus. Ia membatin, Tak terlihat mobil mewah tempo hari, namun ada dua mobil lain terparkir di situ.
Dalam pikirannya, Eka juga bertanya kenapa waktu orientasi KKN dan penyambutan dari pamomong desa, tak ada penjelasan mengenai rumah itu. Ia menjadi bertanya-tanya, seandainya itu benar aset seorang pejabat, siapakah pejabat pemiliknya?
Eka juga membayangkan, bila itu memang rumah pejabat, mungkin rumah itu menjadi tempat terjadinya deal kongkalikong bisnis. Bisa juga rumah itu jadi tempat berlangsungnya pembahasan rencana langkah strategis, taktis, dan logis untuk galatama adikara –yang mungkin demi politik rencana itu bisa mengorbankan khayalak umum.
Ingatan tentang hal lain yang menonjol yang Eka lihat di rumah itu juga masih tergambar jelas di kepalanya. Dari balik jeruji, matanya menatap suatu ukiran kayu yang besar. Eka menaksir ukurannya sekitar dua kali dua meter. Dari kejauhan, Eka menaksir, Kelihatannya yang paling jelas ada obyek lingkaran, kemudian mungkin ada jamur atau bonsai atau pohon, dan ular atau naga di ukiran itu.
Selain itu, otak Eka juga berpikir tentang pelariannya ini, Entah ... aku merasa lari ini berbeda dengan lari saat pelajaran olahraga untuk dinilai atau saat lomba seperti 17 Agustusan, aku bukan mahasiswa aktivis, tapi aku merasa mungkin seperti inilah rasanya mahasiswa aktivis saat dikejar pihak yang akan menangkap mereka.
Di kampus, Eka memang tidak tertarik ikut pergerakan sosial. Namun ia juga bukan mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di laboratorium membaca berbagai macam literasi.