Tarka Sengkalan & Simbol Masa 1997/98

RK Awan
Chapter #9

9. Sengkalan, Makna Nama, dan Weton Terkuat di Dunia Metafisika

Ki Dwibanu melewati bagian ruang tamu rumahnya, langsung mengajak Eka duduk di ruang tengah ndalem itu. Kini, Eka telah duduk di suatu kursi, dan berhadapan dengan meja yang penuh dengan aneka jajanan tradisional. Ada lepet jagung, jenang, arem-arem, dan sebagainya Selain itu, di meja ada dua gelas bening, satu teko keramik, dan satu kendi tanah liat. Kendi tanah liat menjadi tempat air putih, sedangkan teko menjadi wadah teh dengan sedikit gula, minuman yang dipesan Eka.

Sementara di samping meja tersebut, juga telah berdiri kipas angin yang telah berputar. Benda itu juga merupakan tawaran Ki Dwibanu, yang kemudian diiyakan oleh Eka. Sebelumnya memang Ki Dwibanu mempersilakan Eka memilih minuman yang akan disuguhkan asisten rumah tangga.

Sembari menyeruput teh permintaannya, kepala Eka bergerak memutar mengamati ruang tengah. Banyak benda-benda antik dan benda-benda seni hadir di ruang itu, ada yang ditaruh di lemari dan meja pinggir, ada yang ditaruh berdiri atau digantung sendiri. Di belakangnya, Eka menyaksikan wayang-wayang kulit yang tertancap pada kayu menanjang bercat hijau – yang sengaja dimiripkan dengan debog pisang tempat menancapkan wayang.

Tak lama, Ki Dwibanu yang belum mendatangi Eka lagi, kini telah terlihat kembali. Lelaki sepuh itu nampak membawa dua buah buku dan dua buah pena di atasnya.

Ki Dwibanu segera duduk di kursi seraya menaruh tumpukan benda dari kedua tangannya ke meja. “Nah, maaf kalau mas Eka mungkin merasa lama menunggu Ki balik.”

“Tidak, Ki,” jawab Eka, yang saat itu juga berpikir kalau menerapkan ileisme untuk menyebut dirinya dengan sebutan ‘Ki’. Ileisme adalah praktik merujuk diri sendiri dengan penyebutan sebutan atau nama diri.

Seolah tahu isi pikiran Eka, Ki Dwibanu berkata, “Maaf ya, mas Eka. Ki menggunakan sebutan ‘Ki’ untuk diri sendiri, apa mas Eka keberatan atau merasa tak enak? Kalau merasa tak enak, Ki bisa berhenti memakai cara sebutan ini.”

Eka sedikit terkejut dengan Ki Dwibanu yang nampak bisa tahu isi mindanya, namun ia masih bisa merespon dengan baik, “Tak apa-apa Ki, saya sama sekali tak keberatan.”

Ki Dwibanu tersenyum. “Nah, mari kita lanjutkan. Kita sudah bicara tentang diri sendiri –dalam hal ini tentang Ki. Dalam hal ini sebutan Ki untuk diri Ki. Nah, ukiran yang mas Eka lihat di dinding depan itu juga sebenarnya melukiskan tentang diri Ki ini.”

Eka penasaran, “Maksudnya, Ki?”

“Pada ukiran itu, sebenarnya terkandung makna sengkalan diri Ki.”

“Sengkalan?” tanya Eka.

“Nah, sebelum Ki terangkan, Ki tanya dulu, nama lengkap mas Ekadanta Sura Rene Kalandra, apa maknanya kalau boleh tahu?”

Eka menjelaskan panjang lebar, “Kata pertama, Ekadanta itu artinya ‘seseorang yang cerdas’, selain itu ‘Ekadanta’ merupakan nama lain Dewa Ganesha yang merupakan Dewa Ilmu Pengetahuan. Kemudian ‘Sura’ artinya pemberani dan juga karena saya lahir di bulan Sura, penyematan kata ini permintaan kakek saya kepada orangtua saya. ‘Rene’ adalah ide dari ibu saya, ‘rene’ bisa berarti ‘lahir kembali’ dalam bahasa Prancis. Selain itu ‘Rene’ juga sekaligus ‘kemarilah’ dalam bahasa Jawa, yang akan cocok untuk kata selanjutnya yaitu ‘Kalandra’. ‘Kalandra’ punya arti ‘penerang masyarakat’ dalam bahasa Jawa.”

Ki Dwibanu berkomentar, “Jadi kemarilah penerang masyarakat, untuk dua kata terkahir.”

Lihat selengkapnya