Eka dan Ki Dwibanu masih meneruskan percakapan tentang ukiran sengkala Ki Dwibanu. Ki Dwibanu mengungkap makna ukiran yang ada di depan ndalem miliknya. Kata Ki Dwibanu, “Jadi, selain menyimbolkan angka-angka tahun, itu menyimbolkan diri saya dan masyarakat.”
Eka penasaran, “Bagaimana, Ki?”
“Pertama Ki jelaskan, pohon beringin ini menyimbolkan masyarakat yang guyub rukun, yang bersatu, seperti Pancasila,” jelas Ki Dwibanu, “Tapi Ki tambahkan tangan, yang bersalaman, yang memperkuat makna masyarakat yang bersatu dan juga saling berkarya bersama.”
“Itu maknanya, ya, Ki,” kata Eka yang lalu bertanya, “Kalau tentang matahari dan naga?”
Ki Dwibanu menerangkan, “Kalau matahari dan naga, matahari itu melambangkan tubuh diri Ki ini. Seperti yang telah Ki bilang, nama Ki yang asli adalah ‘Nurcahyo’. Jadi pas begitu, cahaya. Kemudian naga itu ya seperti tangan dari pohon. Naga melambangkan usaha dan apa-apa saya yang telah Ki lakukan.”
“Seperti itu, maknanya,” komentar Eka. Kemudian, Eka menyampaikan pendapat dan pertanyaan, “Menurut saya, simbol-simbol dan maknanya sudah bagus, Ki. Tadi Ki bilang butuh bantuan untuk hal yang berkaitan dengan ukiran itu, apa kaitannya dengan simbol? Apa yang bisa saya bantu?“
“Nah, itu,” ujar Ki Dwibanu, “Simbol-simbol di ukiran sengkalan itu kan inspirasi Ki dari unsur-unsur sosial. Unsur-unsur mitologi dan budaya. Ki sudah puas dengan itu. Tapi, diri Ki ini ingin di ukiran itu ada simbol yang berasal dari unsur ilmu hayat.”
“Seperti simbol-simbol dari fisika, kimia, matematika, dan biologi, itu maksud Ki?” Eka memastikan.
“Itu, tepat itu mas,” Ki Dwibanu membenarkan, “Bisa dari bidang itu, tapi tentu harus sesuai dengan jiwa dan kisah-kisah diri Ki ini.” Ki Dwibanu juga menambahkan, “Tapi tentu ini hanya permintaan. Saya tak memaksa. Anggap saja ini bicara ngalor ngidul. Kalau dari sini kita tak menemukan simbol yang Ki mau, ya tak apa-apa.
“Begitu, ya Ki,” ujar Eka.
“Apa mas Eka bersedia?” tanya Ki Dwibanu.
Eka tak langsung menjawab. Ia memilih mengajukan pertanyaan, “Maaf sebelumnya, kalau boleh saya tahum kenapa Ki ingin ada simbol dari sains dan matematika?”
“Karena Ki suka itu,” Ki Dwibanu menjawab, “Dan memang diri Ki ini baru senang dengan topik itu di usia tua, tapi menurut Ki itu tak masalah. Ki pernah dengan cerita tentang tokoh Romawi bernama Cato yang belajar bahasa Yunani saat ia berusia 80 tahunan. Jadi, tak masalah bila Ki seperti si Cato itu.”
“Begitu, ya Ki,” ujar Eka yang dalam hati, Eka membatin, Unik juga Ki Dwibanu ini. Ia lalu menyatakan kekaguman, “Tapi memang hebat Ki ini, tertarik dengan hal ini kemudian belajar dan ingin menaruhnya ke ukiran sengkalan milik Ki.”
“Jadi apa mas Eka bersedia?” tanya Ki Dwibanu mengulang, “Kalau pun pada akhirnya tak ada simbol yang membuat saya sreg, ya sudahlah. Saya tak akan mencelakai atau menahan dan menculik mas Eka.”
Eka melisankan pernyataan menyanggupi, “Baiklah Ki, saya bersedia membantu.”
“Terima kasih, terima kasih, mas Eka,” ujar Ki Dwibanu, “Dan saya sediakan buku tulis dan pena ini. Kalau-kalau mas Eka butuh menulis untuk memberi pemahaman ke Ki ini.”