Eka ingat ia bisa meminum sisa isi gelasnya sampai habis dalam waktu singkat, ketika ia mengakhiri percakapannya dengan Andin dua hari sebelumnya di sore hari.
Kini, saat hari telah memasuki pukul tujuh malam lewat lima belas menit, Eka berhadapan dengan gelas yang juga berisi air putih. Namun ia tak bisa lagi menghabiskan isinya dengan cepat. Tentu bukan karena perbedaan sore dan malam. Alasannya, karena beberapa saat yang lalu ia menyaksikan seseorang melakukan sesuatu terhadap gelas tersebut.
Orang tersebut adalah Ki Dwibanu, yang membawakan gelas berisi air putih itu, dan kemudian mencelupkan suatu batu ke dalamnya. Alasan Ki Dwibanu melakukan hal itu, adalah karena Eka mengaku pada hari ini ia sedang tak enak badan. Ki Dwibanu langsung berinisiatif membantu Eka, dengan caranya sendiri. Air putih yang Ki Dwibanu celupkan, oleh Ki Dwibanu sebagai batu bertuah.
Ki Dwibanu bilang, “Silakan mas Eka, diminum, untuk membantu badan mas Eka sehat seluruhnya lagi. Tapi kalau mas Eka tidak berkenan, ya tak apa-apa.”
Eka berpikir, batu yang dicelupkan Ki Dwibanu tidak akan punya dampak medis pada tubuhnya. Namun, ia merasa adanya perbedaan suatu suasana sosial yang menjalar di situasi tersebut. Ia merasa gelas putih di hadapannya adalah pertanda Ki Dwibanu yang begitu perhatian padanya.
Eka juga menimbang, jika yang disajikan Ki Dwibanu adalah alkohol atau minuman lain yang jelas buruk untuk tubuhnya, tentu ia akan menolak. Tapi di hadapannya adalah air putih, yang disebut Ki Dwibanu akan berkhasiat setelah dicelup dengan batu bertuah miliknya. Sesuatu yang tak ia percaya, situasi yang menurut Eka mirip-mirip seperti sales minuman yang melebih-lebihkan manfaat minuman dagangan mereka. Namun, bagi Eka, sales yang melebih-lebihkan produknya itu orientasinya adalah uang, tetapi Ki Dwibanu niatnya adalah membantunya.
Eka juga berpikir, ia tak pernah menyeruput minuman seperti itu sepanjang hidupnya. Ia penasaran juga bagaimana rasanya. Maka, ia memutuskan meneguk air putih itu, dengan alasan sebagai rasa terima kasih atas perhatian Ki Dwibanu sekaligus memuaskan rasa penasarannya.
Sembari tenggorokannya menjadi jalur air putih, otak Eka berjalan membatin, Aku jadi terpikir “Curiosity Killed The Cat” yang Andin bilang kemarin, apa bakal terjadi? Apa nanti bakal ada apa-apa?
“Bagaimana, mas Eka?” tanya Ki Dwanu setelah seluruh air putih di gelas telah masuk ke tubuh Eka.
Dengan didahului anggukan kepala dan senyuman, Eka menjawab, “Baik, terima kasih, Ki.”
Tentu saja, Eka tak melisankan apa yang ada di kepalanya saat itu, Aku seorang pelajar yang barusan meminum air seperti itu. Aku merasa, apa sekarang ada aura dualisme di diriku ...?
Dualisme adalah kata yang muncul di otak Eka saat itu, karena kepada Ki Dwibanu ia akan menyampaikan suatu ide yang ia dapat sehari lalu. Ia sebenarnya ingin langsung menyampaikan ide itu ke Ki Dwibanu, namun ternyata Ki Dwibanu sedang berpergian. Gareng memberi informasi pada hari ini, di malam hari, Eka baru bisa menemui Ki Dwibanu.
Setelah saling tukar beberapa kalimat tambahan pasca Eka menghabiskan air putih, kini Eka mendapat giliran menyatakan idenya.