Pertemuan Eka dengan Ki Dwibanu tercipta lagi. Kali ini, Eka mengajukan idenya, yang ia pikir akan bisa membantunya untuk menyelesaikan permintaan bantuan Ki Dwibanu mencari simbol sengkalan.
Eka menyatakan, “Begini Ki, sejauh ini, proses kita adalah, saya menyampaikan materi tentang fisika dan sains lainnya dan matematika. Lalu, Ki mengomentari apa yang saya sampaikan itu cocok atau tidak.”
“Ya, memang begitu,” ujar Ki Dwibanu.
“Nah, saya berpikir bagaimana kalau dibalik. Bagaimana kalau Ki Dwibanu menyampaikan pandangan atau konsep Ki tentang manusia. Juga bagaimana pandangan Ki Dwibanu tentang dunia metafisika yang Ki geluti. Lalu saya akan mencoba mencari simbol apa yang cocok untuk pandangan Ki,” Eka menguraikan,
Pertukaran kalimat berlanjut. Dari aksi saling bicara itu, Eka menarik kesimpulan, Ki Dwibanu berpendapat “bahwa manusia itu makhluk yang rumit”. Sementara, dunia metafisika menurut Ki Dwibanu bisa dideskripsikan sebagai “siksaan mental”. Bagi Eka, itu masih belum cukup, karena itulah ia berusaha menggali informasi lebih lanjut.
Eka berkata, “Baiklah Ki. Saya masih ingin tahu yang lain. Saya berpikir, ada informasi lain yang bisa membantu pencarian ini.”
“Apa itu mas?” tanya Ki Dwibanu.
Eka menjawab, “Ki pernah bilang . Saya ingin tahu, rincian bagaimana Ki Dwibanu tertarik dengan topik sains ini.”
“Detailnya, begitu mas Eka?” tanya Ki Dwibanu.
“Ya. Saya pikir itu akan berguna,” Eka mengulang pernyataan idenya.
Ki Dwibanu diam, tak langsung bereaksi. Setelah beberapa detik, baru lelaki sepuh itu berkata, “Baiklah, mas. Ki pikir memang itu jalan yang tepat. Dan untuk hal itu, tunggu sebentar, Ki akan mengambil sesuatu.”