"Shit! Shit! Shit!" maki Acka pada ponsel digenggamannya. Sepuluh kali mencoba menghubungi nomor Ovie, sebanyak itu pula suara rekaman dari sistem kotak suara menggema, "Anda terhubung dengan layanan voicemail". Dari jam satu siang sampai jam tiga sore, Ovie sukses membuat Acka kelimpungan. Perjalanan Acka menuju stasiun Gambir diwarnai ketar ketir hati yang tak jelas. Dicobanya lagi kesebelas kalinya berharap suara si "Mbak AI" berubah.
"Halo?" Suara cowok menjawab telepon Acka.
"Eh, ini ... nomor Ovie kan ?" Nada cemburu muncul di suara Acka yang nge-bass.
"Iya, dia lagi di toilet," jawab cowok itu santai.
"Lo siapa?" tanya Acka lagi mencoba tenang.
"Hush siniin deh teleponnya, iseng banget sih ..." Suara Ovie mengambil alih ponsel.
"Ovie? Lo lagi dimana? Siapa itu? Kenapa susah banget dihubungi?" tanya Acka bertubi-tubi.
"Hai Ka! Kemana aja sih, sibuk banget ya?" sapa Ovie riang tanpa tahu muka merah padam dan deru napas Acka yang sibuk naik turun.
"Kenapa jadi balik nanya? Pertanyaan gue belum dijawab Vie!"
"Calm down, gue lagi di kafe, baru beres shift mau pulang, kebetulan ada Bobby jadi sekalian nebeng dan dari tadi gak pegang hape karena di kafe baru ada event, gue sibuk Ka, udah jelas?" jawab Ovie.
"Hmmm."
"Kok gitu doang? Tadi nyerocos nanyanya kaya orang panik, sekarang malah ham hem. Ada apa Acka?" tanya Ovie bernada manja.
"Gue kira ada sesuatu yang buruk terjadi sama lo karena gak angkat telepon, sekalinya diangkat eh malah suara cowok." Dengus Acka sebal.
"I'm fine Ka, lagipula itu cuma Bobby, teman gue yang waktu itu nolongin, gak ada apa-apa."
"Dia itu cowok Vie, gak mungkin gak ada apa-apa." Acka makin jengkel.
"Hei Acka, what happened? Bilang yang jelas, jangan marah tanpa alasan kaya gitu." Ovie melembutkan suaranya meredam emosi Acka.
"Gue ... well ... I'm jealous ok!" Terdengar hembusan napas panjang Acka.