Baru empat hari gadis itu pergi, Acka sudah blingsatan. Hampir semua penghuni ZODA kena semprot omelannya. Sebenarnya kalau mau nekat, cowok tinggi itu bisa saja menyusul ke Surabaya, akan tetapi dia masih peduli dengan tanggung jawabnya kuliah dan kerjanya sebagai penyiar.
Acka keluar dari kelas dengan langkah gontai. Hasil bimbingannya tadi dengan bu dosen yang super judes tampak tidak memuaskan. Di tangannya tampak lembaran-lembaran kertas skripsi dengan banyak coretan merah hampir di semua paragraf yang semalam suntuk dikerjakannya. Naga di perutnya kembali berdemonstrasi kesekian kalinya menuntut haknya karena dibiarkan menelan angin selama dua jam bimbingan tadi. Acka yang suasana hatinya sedang tidak karuan tadinya ngotot ingin pulang, tapi akhirnya mengalah karena lambungnya sudah perih dan memutuskan membelokkan langkahnya ke kantin fakultas.
Kupat tahu petis dengan gerusan tujuh buah rawit merah plus saus kacang nan legit di piringnya hampir ludes dalam delapan suapan ketika ponselnya berdering. Tanpa melihat nama penelepon, dengan malas ia mengangkatnya.
"Ya?!" sahutnya ketus.
"Judesnyaaa!" jawab suara di ujung telepon terkikik. Raut semringah muncul menggantikan aura gelap yang dari tadi menyelubunginya.
Acka melupakan suapan terakhirnya, memilih mendengarkan suara empuk gadis penyiar yang sudah membuatnya hilang fokus beberapa hari belakangan ini.
Hubungan per telepon empat hari berikutnya cukup menjadi obat kangen untuk Acka. Namun di balik itu semua, hati Don Juan satu itu masih kebat kebit memikirkan keputusan yang harus diambilnya akhir bulan nanti.
***
Acka dengan sabar menanti di stasiun. Kereta dari Surabaya akan tiba sebentar lagi. Baru kali ini perasaan kangen teramat sangat singgah di hatinya. Selama ini setiap cewek yang dekat dengannya hanya bisa menyentuh sisi nafsunya, tapi kini berbeda dengan Ovie. Penyiar magang itu berhasil memikatnya dengan segala kepolosan, kekonyolan dan ketulusannya. Hati yang selama ini tergembok rapat seolah menemukan anak kuncinya.
Lamunan Acka terhenti saat sebuah suara menyapanya riang.
"Ackaa!!" seru Ovie berlari kecil menerobos kerumunan orang yang sama-sama baru turun dari kereta. Cowok yang dipanggil itu menoleh dan merentangkan tangannya menyambut pelukan Ovie.
"Betah ya disana?" sindir Acka sambil membawa koper mungil Ovie.
"Seharusnya begitu," jawab cewek itu sedikit sendu.
"Lho, kenapa seharusnya?" Acka heran sembari menyetop taksi berwarna biru di depan stasiun.
"Karena partner siaran gue ketinggalan disini," tukas Ovie senyum dikulum memasuki taksi. Tangan Acka yang hendak membuka pintu taksi malah menggapai angin mendengar gombalan ceweknya. Skak!! Baru kali ini ia merasakan terpana oleh gombalan tidak penting, tetapi mampu menerbitkan semburat merah muda di pipinya.
Festival musik indie yang disponsori salah satu penyedia kartu prabayar ponsel yang diselenggarakan malam minggu itu menjadi ajang terakhir cuap-cuap Ovie sebagai penyiar radio. Ini acara penutup Ovie menjadi anak magang sebelum kembali bertolak ke Surabaya kembali menjadi anak kuliahan.
Pun buat Acka, ini hari penentuan nasib taruhan yang dimainkannya bersama trio penyiar ZODA sableng. Acka sudah meminta para kadal itu untuk datang di acara malam ini, menjadi saksi akan keputusan finalnya terhadap hubungannya dengan Ovie.