Surabaya, setahun yang lalu.
Ovie baru pulang dari kampus dengan tampang lesu. Kuliah dari pagi ditambah kegiatan himpunan mahasiswa yang membahas pembentukan panitia ospek untuk mahasiswa baru cukup menyita waktunya sebagai sekretaris himpunan. Dengan gontai ia membuka pintu pagar rumahnya, tapi suara histeris mamanya dan teriakan papanya dari dalam rumah merubah langkah gontainya menjadi gerakan lari secepat kilat.
"Ma, Pa ada apa?" tanya Ovie panik menghambur ke ruang tv. Tampak Mama menangis sesegukan dalam pelukan Papa.
"Tolong pesankan tiket pesawat ke Jakarta sore ini Vie, Tasya masuk rumah sakit," jelas Papa pelan.
"Kenapa?" jerit Ovie, kakinya terasa lemas.
"Dia mencoba bunuh diri, penyebabnya belum jelas, sebaiknya kita bergegas Vie," lanjut Papa terisak.
"Ha? Bunuh diri? Kenapa dia berbuat bodoh begitu?"
"Papa belum tahu, ayo cepat Vie!" Ovie hanya mengangguk. Pikirannya kalut memikirkan nasib kakak satu-satunya yang hanya berbeda setahun darinya itu. Dengan tangan gemetar diraihnya ponsel, dibukanya aplikasi travel dan segera memesan tiket ke Jakarta.
Kedatangan Ovie beserta papa mamanya ke rumah sakit rupanya terlambat. Tasya sudah memejamkan mata untuk selamanya sekitar lima belas menit yang lalu. Mata sembab kedua sahabat sekaligus teman satu kos Tasya menyambut tibanya tiga orang terdekat Tasya dari Surabaya itu. Mama Tasya tumbang menerima kenyataan bahwa anak sulungnya sudah tiada. Papanya berusaha tegar dan segera menemui dokter. Tinggal Ovie yang duduk di tepi ranjang kakaknya, menangis tanpa suara mengelus tangan lentik yang sudah kaku itu. Tidak seharusnya Tasya meninggalkannya dengan cara seperti ini. Ia harus mencari tahu apa dan siapa yang harus bertanggungjawab karena merenggut kakak tercintanya itu.
Menurut cerita salah satu sahabatnya, dua minggu terakhir ini Tasya memang terlihat murung dan berbeda dari biasanya, dan puncaknya pagi itu, saksi mata sekaligus pengemudi sedan yang tidak sengaja menjadi penabrak Tasya menuturkan bahwa kondisi jalan raya cukup lengang pada pagi itu dan ia memang menyetir mobilnya dengan kecepatan cukup kencang mengejar waktu meeting di kantornya. Dari arah perempatan, Tasya muncul terus melangkah ke tengah jalan sambil menangis dan tidak memedulikan apapun. Sedan yang sedang meluncur kencang berusaha memberi tahu dengan mengklakson berulang kali, tetapi gadis itu tetap berjalan menunduk dengan tatapan kosong. Jalanan yang masih menyisakan basah akibat hujan semalam membuat ban mobil selip, si pengemudi berusaha membanting setir namun mobil terus meluncur dan akhirnya menabrak Tasya.
Jenazah Tasya dibawa pulang dan dimakamkan di Surabaya. Ini sudah hari ketujuh Tasya meninggal. Ovie merenung di kamar kakaknya memandangi suasana kamar yang lengang karena sebagian barang Tasya masih ada di kosnya di Jakarta.
"De, makan dulu!" seru Mama dari arah ruang makan. Ovie beringsut bangun. Jangkrik di perutnya memang sudah ribut memberi sinyal dari tadi.