Ovie mengernyit heran. Selama ini jika mereka saling menelepon dan bercerita, kakaknya tidak pernah sekalipun menyebut nama cowok yang sedang dekat dengannya. Munculnya nama Acka tentu saja membawa Ovie ke dalam rasa penasaran lebih lanjut membaca diary Tasya.
Senin pagi itu aku ada kuliah. Saat hendak masuk gerbang pergelangan tanganku ada yang mencekal dengan lembut. Aku spontan menarik tanganku dan menoleh kaget. Senyuman tipis dan tatapan tajam wajah cowok Sabtu sore kemarin itu ada di belakangku. Sumpah rasanya darah di kepalaku merosot drastis ke jantungku untuk memompa darahku lebih cepat lagi karena rasanya sesak banget.
"Kamu?" Aku melotot.
"Yes, Tasya?"tanyanya dengan tampang lugu.
"Kenapa tahu namaku?"
"Masa lupa sama pemenang hadiah yang malu-malu kaya kamu?" Aku merona mendengarnya.
"Terserah, apa yang kamu lakukan disini pagi-pagi? Radio ZODA di Bandung kan? Kenapa penyiarnya masih nyasar disini?" aku mulai merengut sambil melirik jam tangan karena 15 menit lagi kuliah pagiku akan dimulai.
"Sori kalau aku ganggu waktumu, tapi aku benar-benar harus ketemu kamu sebelum nanti malam pulang ke Bandung. Kamu selesai kuliah jam berapa? Bisa kita ketemu? Aku bakal nunggu disini sampai kamu beres, kumohon jangan menolakku."
"Kamu kesambet jin apa sih? Kenapa aku? Kamu salah lihat cewek ya?" Aku mulai gak sabar melihat kelakuannya.
"I can't get rid of your beautiful eyes from my mind. Please, jangan siksa aku, yang kuminta hanya beberapa jam saja untuk mengenalmu, ok?" Tiba-tiba saja cowok itu berlutut, aku terkejut mundur beberapa langkah.
"Apa semua penyiar radio segombal kamu? You're insane! Just go and leave me alone ok!!" desisku menjauh dan berlari meninggalkan cowok yang masih berlulut itu. Entah siapa yang salah makan hari ini, aku atau dia. Belum pernah ada cowok yang bertindak semanis itu padaku, ini pasti halusinasi. Aku gak berani menengok ke belakang, aku terus berlari masuk ke gedung fakultas, menaiki tangga menuju ruang kelasku.
Dosen belum datang. Aku beringsut duduk di kursi samping jendela sambil menetralkan deru napasku yang masih tersisa akibat berlari tadi. Aku menoleh ke jendela dan melihat pemandangan yang membuatku membelalakkan mata. Di bawah sana, di dekat gerbang masuk cowok itu masih duduk di samping pos satpam sambil melambaikan tangan ke arahku.
Sial! Mukaku terasa panas. Kenapa dia bisa tahu ruang kelasku dan menungguku melihat ke arahnya? Pasti Pak Sapto, satpam itu yang memberitahunya karena sekarang mereka berdua sedang berbincang seru entah apa topiknya. Aku segera pindah tempat duduk. Mampus! Pikiranku gak fokus sampai kelas ketigaku berakhir.
Aku ragu menuruni tangga menuju keluar gedung. Gak mungkin kan dia masih betah menunggu? Mungkin dia cuma iseng, dan sudah pergi kemanapun dia mau. Aku menarik napas panjang dan memantapkan langkah. Ini sudah siang dan aku lapar sekali, aku ingin cepat pulang.
Deg! Benarkah? Makhluk bermata tajam itu masih ada di depan pos satpam, duduk santai menyeruput teh botolan dingin dan tersenyum menatapku. Ya ampun! Aku mempercepat langkah ingin segera meninggalkan kampus, aku gak mau ge-er mengira dia benar-benar menungguku. Mungkin saja ada temannya di belakangku yang dia kasih senyum.