"I love you!" ujar Acka setelah menciumnya dengan penuh nafsu di malam Ovie mengeluarkan salah satu strateginya dengan menyatakan akan mengakhiri hubungan mereka karena Ovie harus kembali ke Surabaya dan tidak meneruskan pekerjaan magangnya.
"Acka ..." Ovie cukup tersentak dengan ucapan cowok tinggi tegap dipelukannya.
"Please, jangan pikirin lagi soal jarak. Gue sayang lo, kita pasti bisa ngatasin ini Vie," kata Acka lirih menatap cewek di depannya itu sendu.
Pikiran penyiar magang itu kosong. Matanya hanya fokus pada bibir bengkak Acka. Gantian Ovie yang mengangkat dagu Acka dan meraup kembali bibir penuh itu. Diciumnya lelaki itu pelan, lembut dan lama. Acka memejamkan mata menikmatinya hingga Ovie menarik diri mengakhirinya dan berbalik cepat menuju pagar tanpa mengatakan apapun. Satpam yang terbuai tidur langsung gelagapan bangun mendengar suara cicit pagar dan langsung membantu Ovie membuka pintu.
Deru motor Acka terdengar menjauh dari kosan Ovie sehabis mengantarnya dari acara launching album band indie di kafe. Seluruh tubuh Ovie gemetaran. Lututnya terasa lemas setelah kejadian di depan kosan tadi. Ciuman itu benar-benar di luar skenario. Ditambah kata-kata ajaib Acka, menambah kekalutan yang kini sedang dirasakannya.
Ini salah! Geblek! Kenapa ia tidak menampik bibir seksi cowok itu? Kenapa malah ia mengambil start yang kedua dan menikmatinya? Bertubi pertanyaan tanpa jawaban memenuhi benaknya sembari gadis itu melempar boneka Doraemonnya ke langit-langit dan menangkapnya, begitu berulang kali hingga tanpa sadar sikunya menyentuh ponsel yang menyebabkan ponselnya tersambung pada satu nomor. Ovie merebahkan punggungnya ke kasur dan menutup mukanya dengan bantal.
"Aaaaarrrggghh! Hormon sialan! Bego lo Vie! Lo gak boleh percaya ucapannya! Dia hanya ingin menerbangkan lo sebelum mendorong lo jatuh ke jurang! Sadaaar!!!" jeritnya tertahan khawatir membangunkan penghuni kos lainnya. Perlahan air matanya luruh tanpa suara.
"Kenapa malah gue yang main hati? Apa gue kalah di game ini? Gue gak boleh kecewain kakak gue! Lo jahat Acka!" rutuknya pada diary Tasya yang ada di genggamannya. Suara tangis Ovie makin menyayat hati dan susah dihentikan. Tatapannya beralih pada ponselnya saat suara Avril menyapa lirih berkali-kali. Dilihatnya siapa yang menelepon tanpa jeda.
"Bobby ..." Suara Ovie tersendat menyambut suara Bobby yang panik di ujung telepon.
"I knew you're not ok! Gue di luar." Bobby menggeram kesal mendengar isak Ovie. Ia sudah punya firasat bahwa pertemuan Ovie dengan cowok bunglon itu malam ini pasti bermasalah. Makanya sedari tadi Bobby tidak bisa tidur di tempat kos menunggu kepulangan gadis itu yang kosannya berjarak hanya beberapa meter saja.
Tanpa banyak tanya, gadis itu mengambil tas selempang dan jaketnya, mengendap keluar dan mendapati Bobby di sedan Solunanya. Diliriknya pak satpam yang khusyuk meringkuk di balik sarungnya, pelan dibukanya pagar dan ditutupnya kembali tanpa bunyi. Berlari kecil dihampirinya Soluna itu dan Ovie masuk ke dalamnya. Bobby menerima rangkulan Ovie yang tiba-tiba memeluknya. Pipi Ovie banjir air mata. Dengan lembut ibu jari Bobby mengusap lelehan air yang masih menuruni mata sembab Ovie. Langit subuh mengiringi Soluna itu meninggalkan kosan menuju Lembang.
Bobby melirik gadis yang tertidur di kursi penumpang. Dengkuran halus mengalun berirama dengan naik turunnya napas Ovie. Mata gadis itu bengkak, tapi tetap terlihat manis di mata Bobby. Cowok itu tersenyum dan mengingat pertemuannya dengan gadis manis itu.
Bobby memang baru kenal Ovie saat pindah ke Bandung karena dikenalkan oleh Ola. Cowok itu adalah teman SMU Ola yang kuliah di perguruan tinggi yang ada di daerah Tamansari. Ola meminta kesiapan Bobby untuk menjadi backup rencana balas dendam gadis-gadis itu dan Bobby menyetujuinya karena dulu Ola pernah menyelamatkan kakak perempuannya yang berprofesi model seperti Ola dari jerat narkoba dan ia hanya ingin balas budi.