Gelayut untaian nimbus yang menutupi langit sore itu, tak menyurutkan dua lelaki berbadan tegap dan bertemperamen buruk, dalam menunaikan sebuah tugas penting. Satu di antara mereka, berdiri di belakang yang lain, berkacak pinggang dengan tatapan tajam penuh ancaman. Sementara yang satunya, menggedor-gedor pintu dengan keras, hingga otot-otot di lengannya menegang. Orang-orang yang sebelumnya duduk-duduk, berkerumun di depan rumah-rumah mereka di pemukiman padat dalam gang sempit, seketika menutup pintu rapat-rapat. Mereka mengunci pintu, lalu bersembunyi di tempat paling aman di sudut rumah mereka. Memang, tak ada yang lebih mendesak daripada urusan mengisi perut. Bagai singa yang lapar, kedua lelaki bertampang bengis itu, seperti hendak menyergap mangsa yang melintas di hadapan mereka.
Sementara itu, di balik pintu yang hampir roboh karena gempuran dua singa lapar itu, remaja lelaki bernama Raden dan ibunya, Suharti, duduk berdekatan dengan punggung menempel di tembok. Suharti menangis sembari menangkupkan kedua tangannnya di dada, sedangkan Raden menepuk-nepuk punggung sang ibu. Keduanya tampak ketakutan. Mereka takut, pintu rumah mereka yang sudah doyong lepas engselnya, dan membuka jalan bagi kedua singa lapar untuk menjadikan mereka santapan empuk.
“Buka pintu atau kami robohkan rumah kalian!” Teriakan itu membuat Suharti gemetar.
“Bu, kita sembunyi di kamar saja, sebelum pintunya berhasil mereka dobrak,” ajak Raden, sambil terus berusaha menenangkan ibunya.
Keduanya bergegas masuk ke salah satu kamar sempit di rumah itu. Kamar milik Suharti yang cat temboknya sudah mengelupas di sana-sini. Raden segera mengunci pintu kamar. “Tenang, Bu. Mereka nggak akan bisa menerobos pintu kedua, mereka pasti sudah kehabisan tenaga.”
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang bukan lagi digedor, melainkan ditendang bertubi-tubi. Pintu doyong rumah itu, tak mampu lagi bertahan dan pasrah menerima nasib, takluk oleh kaki-kaki liar para singa. Saat pintu depan roboh, terdengar jeritan Suharti dari dalam kamar. Raden yang panik, mencari benda di dalam kamar yang bisa dijadikan senjata untuk menghalau para bedebah rakus, yang kini sudah masuk ke dalam rumahnya. Raden menemukan semprotan racun kecoak di bawah tempat tidur Suharti. Raden berdiri di balik pintu dengan semprotan kecoak yang diarahkan ke wajah orang yang mungkin berhasil merobohkan pintu kamar.
Suara gedoran dan tendangan ke pintu kamar kembali gaduh. Raden yang semula tampak takut, mulai mengumpulkan tekad untuk melawan. Raden, tak lagi melihat kedua orang itu sebagai singa, melainkan lintah yang menjijikkan. Analogi yang lebih tepat untuk menggambarkan kedua orang itu. Alih-alih raja hutan yang karismatik, mereka lebih tepat jika digambarkan sebagai lintah pengisap darah yang rakus. Mereka tak akan melepaskan diri sebelum perut mereka penuh, dan tubuh mereka menjadi gendut.
Raden dan Suharti sudah terbiasa berhadapan dengan para lintah darat. Mereka tak pernah bisa menetap lama di suatu tempat karena harus bersembunyi dari mereka. Tiga sampai delapan bulan, mereka berpindah kontrakan demi mengulur waktu membayar utang. Mereka memang tidak pernah berpindah kota, melainkan hanya pindah RT atau RW saja. Mereka tidak bisa pindah lebih jauh, karena Raden masih harus bersekolah dua tahun lagi untuk dapat ijazah SMA.
Pintu kamar Suharti masih digedor dan ditendang, sampai akhirnya sesuatu menghentikan kedua lintah rakus itu.
“Itu si Madrais. Kejar!”
Raden dan Suharti saling pandang. Keduanya menduga bahwa orang yang bertanggung jawab atas keributan itu—yang sudah menghilang selama berbulan-bulan—baru saja muncul. Raden segera membuka pintu dan mendapati kedua lintah rakus itu lari keluar dengan tergesa-gesa.
“Gimana ini? Mereka pasti ngejar bapakmu, Den,” ujar Suharti.
“Ibu nggak usah khawatir. Bapak udah terbiasa dikejar, larinya semakin kencang, jadi nggak akan tertangkap.”
Suharti dan Raden sudah pasrah. Kepala keluarga yang seharusnya menjadi sosok pelindung dan panutan, justru membuat istri dan anaknya berhadapan dengan masalah pelik tiada akhir. Seperti sebagian kaum marginal yang tak punya cukup keahlian dan kemauan dalam mencari nafkah, judi menjadi jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan mudah. Namun, dampaknya tidaklah sesederhana itu. Judi punya efek samping, yakni melahirkan kebahagiaan semu yang dihasilkan hormon otak. Ianya berubah menjadi candu layaknya kokain, nikotin, dan alkohol. Dampak yang berbahaya, bahkan bagi kaum elit sekalipun.
Madrais tentu bukan kaum elit yang berjudi hanya untuk membunuh rasa bosan akan hidup yang serba mudah. Madrais yang hanya lulusan SD, telah merasa jemu karena sejak muda hanya mengandalkan darah dan keringat untuk sekedar bertahan hidup. Ia ingin juga memperoleh banyak uang tanpa harus bersusah payah, layaknya kaum elit. Madrais lalu mulai berkenalan dengan judi. Judi togel, judi dadu, judi kartu, sabung ayam, sampai judi online telah khatam dilakoni Madrais. Satu-dua kali, ia menang. Uang yang didapat melalui kesenangan ternyata begitu nikmat, hingga membuat Madrais foya-foya. Hormon otak sialan itu telah mengaburkan batas halal dan haram bagi Madrais. Ia sudah kecanduan.
Meskipun lebih sering kalah daripada menang, hasrat berjudi Madrais tak pernah surut. Saat kehabisan modal judi, ia berutang pada lintah darat. Berkali-kali Madrais berutang, berkali-kali pula ia kalah judi. Bunga utang yang tidak manusiawi, membuat utang-utang Madrais kian menggunung. Alhasil, Madrais harus bersembunyi saat tak punya uang untuk mencicil utang. Ia pun jarang pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat judi. Raden dan Suharti-lah yang akhirnya sering berhadapan dengan kebengisan para lintah darat, yang tak segan menggunakan kekerasan dan pengancaman demi mendapatkan kembali uang mereka.
Hari mulai gelap, saat titik-titik hujan mulai beradu dengan debu di atas jalan semen yang tidak rata, menghasilkan aroma petrikor yang menusuk hidung Raden—yang sedang berusaha menegakkan kembali pintu depan rumah kontrakannya yang roboh. Ia sudah cukup berpengalaman dengan pintu roboh karena ulah lintah darat. Ia bahkan menyiapkan banyak engsel cadangan sebagai persiapan. Suharti membantu memegangi pintu, selagi sang putra memasang baut di engsel.