TARUK

Ratna Arifian
Chapter #2

KHAVIN

Seperti kisah itik buruk rupa yang terlahir berbeda dengan kedua saudaranya, maka Khavin adalah si itik buruk rupa itu. Bukan mengenai rupa atau penampilan fisik, melainkan kualitas diri. Stevie—kakak perempuan Khavin—adalah dokter bedah yang menjadi kebanggaan seluruh keluarga besar, sedangkan Jonathan—si anak tengah—adalah ahli strategi bisnis yang telah diwasiatkan untuk menjadi penerus bisnis keluarga. Sementara itu, Khavin yang tak punya kualifikasi setara dan tak pandai dalam pelajaran, terkucil di antara orang-orang bernas di keluarganya.

Rumah bak istana yang menjadi kediaman Khavin sejak lahir, hanyalah serupa sangkar emas yang sepi dan dingin. Sejak kecil, Khavin sering ditinggal sendirian karena orangtuanya selalu sibuk. Samuel—bapak Khavin—sejak muda telah meniti karir di Direktorat Jenderal Pajak. Dedikasi dan kompetensinya dalam pekerjaan membuat karirnya terus meningkat, hingga menempatkannya sebagai kepala bagian kantor wilayah. Sementara itu, Marina—ibu Khavin—adalah perempuan alpha yang mahir berbisnis. Berbagai ranah bisnis dirambahnya, mulai dari kuliner, produk kecantikan dan pakaian.

Fasilitas rumah yang setara hotel bintang lima, tas dan sepatu mahal yang harganya sebanding dengan gaji setahun pegawai baru BUMN, serta koleksi mobil mewah impor yang berderet di garasi luas—setara lapangan tenis, telah menjadi surga dunia yang melenakan. Samuel memimpikan sebuah keluarga sempurna, maka ia mempersiapkan ketiga putra-putrinya untuk sukses di profesi pilihannya. Termasuk Khavin­—si putra ketiga—yang dipersiapkan Samuel untuk memasuki bidang hukum sebagai hakim atau jaksa. Alangkah sempurna hidup Samuel, jika rencana itu bisa terwujud. Samuel menuntut Khavin untuk giat belajar, maka ia mendatangkan guru les ke rumah untuk setiap mata pelajaran. Akibatnya, Khavin tak punya waktu bermain dengan teman sebayanya. Hanya asisten rumah tangga—yang jumlahnya lebih banyak dari anggota keluarga, serta guru les yang datang silih berganti, yang menjadi teman Khavin sehari-hari.

Awalnya, Khavin berusaha untuk belajar, tapi kemudian ia sadar bahwa kapasitas otaknya tak cukup memadai, hingga Khavin pun mulai menolak untuk diajari. Saat guru les datang, Khavin akan mengurung diri di kamar, atau pergi keluar untuk berolahraga. Sesekali, ia juga mengajak guru lesnya jadi lawan tanding basket atau tenis.

“Tolong bilang pada papa kalau saya sudah belajar hari ini,” pesan Khavin pada guru lesnya. Tak ada satu pun yang melapor pada Samuel, karena Khavin memelas seraya memohon di hadapan guru-gurunya. Rasa iba pada anak yang dipaksa belajar keras oleh orangtuanya, membuat para guru itu tutup mulut.

Samuel dan Marina tak pernah sungguh-sungguh peduli pada Khavin, hingga tak tahu seperti apa Khavin berperilaku sehari-hari. Berbeda dengan sikap mereka pada kedua anak yang lain. Dengan senyum semringah dan penampilan terbaik dari ujung rambut sampai ujung kaki, keduanya selalu menyempatkan waktu untuk datang ke acara sekolah kedua kakak Khavin. Saat Stevie menang lomba cerdas cermat misalnya, atau saat Jonathan juara lomba pidato se-Indonesia, dan tentu saja saat menerima rapor dengan deretan angka cantik, Samuel dan Marina selalu punya waktu di tengah kesibukan mereka. Marina dengan bangga menghadiri acara kaum elit sebagai ajang pamer prestasi putra-putrinya. Tak luput pula, Marina pamerkan melalui unggahan di media sosial. Sedangkan Samuel, berperan sebagai penerima sanjungan sebagai kepala keluarga yang berhasil mendidik anak-anaknya.

Sementara itu, Samuel dan Marina tak pernah sekalipun datang ke sekolah Khavin, dan selalu mengutus orang lain untuk mewakili dengan alasan sibuk. Seperti saat Khavin terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya saat SMP, Pak Dani—supir keluarga Samuel—datang sebagai wali dan mengaku sebagai paman Khavin. Begitu pun saat upacara kelulusan sekolah, Samuel menolak hadir karena malu dengan nilai Khavin yang hanya selisih beberapa koma dari batas kelulusan. Sementara itu, Marina—untuk pertama dan terakhir kalinya—hadir sebagai wali saat Khavin lulus SMA.

“Papa tidak lahir dari keluarga kaya. Hidup papa sejak kecil amat susah. Karena itu, sekarang papa merancang masa depan yang sempurna untuk menggantikan masa sulit papa dulu. Papa ingin di keluarga kita ada seorang dokter, penerus bisnis keluarga, dan seorang penegak hukum. Tapi untuk yang terakhir, sepertinya papa harus menyerah,” ujar Samuel suatu hari, saat seluruh keluarga sedang berkumpul.

Khavin sudah jemu hingga tak pernah lagi merasa sakit hati pada ucapan papanya. Khavin pun paham dengan sikap orangtuanya yang tak sudi bermuram menghadapi anak bermasalah, di saat anak yang lain mampu menaikkan derajat mereka. Khavin mulai abai pada perintah dan larangan dari kedua orangtuanya, dan berlaku lampah sekehendak hatinya. Khavin pun seringkali memilih absen dari acara kumpul keluarga atau kegiatan sosial keluarganya.

Khavin memang tak dilahirkan punya otak genius, tapi kemampuannya di bidang olahraga sungguh di atas rata-rata. Saat bermain di lapangan hijau, ia layaknya sang legenda Maradona. Dalam bermain tenis, ia adalah Rafael Nadal—Raja Lapangan Tanah Liat. Saat berenang, ia bak marlin hitam—mahkluk tercepat di lautan. Khavin dianugerahi fisik yang lebih tinggi dan kuat dibandingkan anak-anak seusianya, serta unggul dalam ketangkasan dan ketahanan tubuh, hingga menguasai berbagai jenis olahraga. Namun, di antara semua itu, berenang adalah pilihan karirnya. Khavin paling suka berenang, karena dunia di bawah air begitu tenang dan damai. Saat melaju dan menggerakkan tubuh di bawah kolam air yang dalam, Khavin merasakan kebebasan untuk menjadi diri sendiri.

Lihat selengkapnya