Taruk yang berasal dari bibit yang baik, lalu tumbuh di tanah yang gembur, diberi pupuk dengan baik, serta mendapatkan sinar matahari dan air dalam porsi yang cukup, maka ia akan tumbuh jadi tanaman yang subur. Ia bisa menjadi bunga petrea yang tak pernah berhenti bermekaran, atau menjadi pohon akasia dengan akar tunggang yang dalam dan kokoh.
Algis adalah seorang anak lelaki yang hidupnya ibarat bunga petrea yang bermekaran atau pohon akasia yang tumbuh dengan rindang. Bapak dan ibunya sama-sama seorang pengajar. Bapaknya yang bernama Budi, sejak muda telah mengabdi sebagai seorang guru matematika di SMA. Arini—ibu Algis—juga seorang guru yang mengajar bahasa Indonesia di tingkat SMP. Meskipun memiliki orangtua dengan latar belakang sebagai pendidik, Algis tak pernah dituntut untuk menjadi pintar. Dibandingkan mata pelajaran, orangtua Algis lebih memilih untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan pendidikan moral dalam keseharian mereka. Sejak kecil, Algis sudah diajari untuk taat beragama, tentang berperilaku yang baik terhadap orang lain, juga tentang hal yang salah dan benar. Semua diajarkan bukan hanya melalui wejangan semata, melainkan telatah kedua orangtuanya.
Algis tak pernah dipaksa belajar, tapi secara alami menunjukkan bakatnya yang menurun dari sang bapak—bahkan melebihi kemampuannya—yakni dalam ilmu matematika. Deretan angka dan simbol adalah magis dipikiran Algis, begitu memesona dan menakjubkan. Algis bisa memecahkan soal-soal sulit yang hanya bisa dikerjakan oleh seseorang di atas tingkatannya. Ia mampu mengerjakan soal SMP saat masih SD, dan bisa mengerjakan soal SMA saat masih duduk di bangku SMP. Alhasil, Algis selalu didaulat untuk mewakili sekolah dalam beragam olimpiade matematika, dan tak pernah gagal membawa trofi kemenangan.
“Kenapa kamu suka matematika?” Seringkali pertanyaan itu ditujukan pada Algis.
“Matematika itu rumit dan misterius seperti takdir dan kehidupan. Saat menemukan jawaban, maka... boom... meledak. Rasanya sungguh mendebarkan. Dan matematika akan selalu kita temukan dalam berbagai aspek kehidupan. Jadi... matematika adalah kehidupan itu sendiri,” jawab Algis tanpa ragu.
Bagi Algis, matematika adalah segalanya, sampai suatu hari ia menemukan misteri lain dalam hidup, yang tak bisa dipecahkan layaknya soal matematika. Saat itu, Algis sudah duduk di bangku kelas dua SMA. Sekolah Algis sedang mengadakan acara penyambutan siswa tahun ajaran baru. Bazar diadakan untuk memeriahkan acara. Bermacam produk seperti kerajinan tangan sampai makanan, dijual di bazar itu. Pertunjukan bakat pun diadakan sebagai ajang promosi ekstrakulikuler sekolah. Berbagai seni beladiri seperti silat, taekwondo, hingga krachtologi ditampilkan dengan begitu menakjubkan. Energi di udara seakan-akan berkumpul mengelilingi lelaki dan perempuan yang menampilkan gerakan kuat bertenaga di tengah-tengah penonton yang berdecak kagum. Pertunjukan seni teater menampilkan drama Ken Arok yang dikemas dalam komedi yang mengocok perut dan musikal yang megah. Bermacam seni rupa—terutama lukisan para siswa—dipajang di sepanjang lorong sekolah, sampai aula tempat berlangsungnya acara. Lalu, yang terakhir ditampilkan adalah pertunjukan seni tari yang bukan hanya diikuti siswa senior, tapi juga siswa baru. Pertama-tama, pertunjukan tari dilakukan berkelompok oleh lima orang siswi senior. Kelimanya menari tarian modern yang energik.
Algis yang sedang berkeliling menyantap makanan yang dijual di bazar sekolah, tampak tak peduli pada semua penampil tadi. Namun, tiba-tiba Algis merasakan daya magnet yang menarik hati dan pikirannya di waktu yang bersamaan. Seketika Algis terpaku menatap ke arah panggung, hingga lupa pada es krim di genggamannya yang mulai meleleh. Seorang siswi yang wajahnya asing di mata Algis telah menarik perhatiannya. Perempuan mungil dengan mata bulat yang bersinar penuh gairah, tengah bergerak dengan luwes mengikuti alunan musik jaipong yang menghentak. Kulit kuning langsat tampak membingkai indah wajah manis yang dihiasi riasan tipis. Tariannya mampu membius setiap mata yang memandang, begitu menawan dan indah. Es krim di tangan Algis mulai menetes ke lantai.
“Ciee... kelihatannya ada yang lagi terpesona, nih!” seru teman Algis yang berdiri di sampingnya. Algis bergeming. Ia tengah merasakan kepakan sayap kecil kupu-kupu yang menggelitiki perutnya. Terasa begitu asing, tapi lucu.
Algis bak orang yang terkena mantra sihir. Seringkali tenggelam dalam lamunan, sekalipun di hadapannya terpampang soal matematika yang rumit. Aljabar linear, kombinatorika, dan geometri analitik yang tak pernah gagal menarik semesta pikiran Algis, kini sedang tercerai-berai, keluar dari orbitnya. Algis sangat ingin berkenalan dengan perempuan itu. Perempuan dengan tarian memesona yang telah menarik semesta Algis.
Saat tahun ajaran baru dimulai, Algis segera mencari sosok perempuan itu. Setiap hari, ia menjelajahi setiap sudut sekolah untuk menemukan perempuan yang mungkin saja berpenampilan berbeda saat tak pakai riasan. Tentu saja, Algis paling sering menyambangi ruangan ekskul tari. Alhasil, banyak pertanyaan yang diajukan para anggota ekskul tari padanya.
“Kamu mau ikut ekskul tari?”
“Loh, kamu udah pensiun dari matematika?”
Keberadaan Algis di sana memang menarik perhatian, sebab tak ada siswa senior yang tak mengenal Algis. Namanya yang selalu menggaung seantero sekolah sebagai langganan juara olimpiade matematika, membuat semua orang mengaguminya.
“Cuma lihat-lihat aja, kok,” jawaban Algis setiap kali mendapat pertanyaan mengenai keberadaannya di sana.
Algis mengendap-endap, atau pura-pura lewat, sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menemukan perempuan itu. Hingga akhirnya, Algis berhasil mengenali wajah perempuan—yang ternyata lebih cantik saat tak memakai riasan. Algis mondar-mandir di selasar ruang ekskul tari, menunggu perempuan itu keluar dan melintas di hadapannya. Cukup lama Algis menunggu, sembari berusaha memalingkan wajah dari tatapan orang-orang sekitar. Namun, ternyata tak ada satu kata pun yang terucap saat perempuan itu lewat di hadapan Algis. Aneh, padahal Algis bukanlah seseorang yang pemalu atau mudah gugup, tidak pula kesulitan berkomunikasi dengan lawan jenis. Hingga perempuan itu semakin menjauh, Algis masih terpaku dan hanya menatap dalam kebisuan. Berhari-hari setelahnya, Algis tenggelam dalam lamunan karena memikirkan kebodohannya itu. Bahkan, soal-soal matematika di hadapannya pun menjadi tak menarik.
Algis masih melamun, dengan sesekali terdengar suara helaan napas panjang. Ia tak menyadari jika pintu kamarnya diketuk berulang kali. Kakak lelaki Algis, Ardy—yang usianya lebih tua sebelas tahun—baru kembali ke rumah setelah berbulan-bulan tidak pulang. Pekerjaan sebagai pengacara, membuatnya hidup secara nomaden—menyesuaikan tempat klien-kliennya berada.
“Kakakmu pulang, malah dicuekin.” Ardy menerobos kamar Algis, lalu mengibaskan tangan di depan wajah sang adik. “Heloo... kamu nggak lagi tidur sambil buka mata, kan?”
Algis tersentak, kembali ke alam sadarnya. “Eh... Kak Ardy, kapan pulang? Maaf Kak, aku lagi terlalu fokus.”
“Fokus apanya? Yang ada kamu lagi bengong, pikiran ke mana-mana. Lagi mikirin apa memangnya?”
Algis menampakkan raut serius. “Gini, Kak. Aku ngerasa aneh akhir-akhir ini.”