TARUK

Ratna Arifian
Chapter #4

TALIA

Ferdi dan Nia telah menikah selama lima tahun, tapi belum juga dikaruniai seorang anak. Bermacam-macam cara dilakukan keduanya agar bisa memiliki keturunan. Mulai dari program hamil dari dokter spesialis kandungan, sampai racikan herbal yang rutin dikonsumsi, telah dijalani keduanya dengan penuh kesabaran. Hingga akhirnya, di tahun ke tujuh pernikahan, keduanya sepakat untuk mencoba program bayi tabung. Tak ada pilihan lain, sebab usia Nia sudah menyentuh usia kehamilan beresiko. Beruntung, Nia berhasil hamil pada upaya pertamanya.

Namun, perjalanan kehamilan Nia tidaklah mudah. Tubuhnya yang menua, cukup lemah untuk membawa janin yang semakin membesar. Ia seringkali tak bisa beraktifitas dan hanya berbaring di tempat tidur. Rasa sakit dan tak berdaya begitu menyiksa di masa-masa kehamilannya. Namun, ia tetap berjuang dan bertahan demi bisa melahirkan sang bayi dengan selamat. Puncak perjuangan Nia adalah hari ketika sang bayi lahir. Nia mengalami pendarahan saat usia kehamilannya baru menginjak usia 33 minggu. Operasi caesar harus dilakukan karena Nia mengalami plasenta akreta, yang menempatkannya pada ambang hidup dan mati. Langit bergemuruh, dengan kilat menyambar permukaan tanah berkali-kali, mengiringi perjuangan Nia untuk bertahan hidup. Hingga takdir pun berucap, bahwa Nia dan bayinya bisa diselamatkan dengan mengorbankan rahim Nia untuk diangkat. Nia tak akan bisa hamil lagi.

Rasa sakit yang Nia rasakan pasca melahirkan seketika pudar, kala melihat wajah rupawan sang putri yang masih merah. Tangisan dari mulut mungil sang bayi, terdengar bak alunan musik orkestra kelas dunia yang indah dan megah. Kebahagiaan tak terkira setelah penantian panjang, membuat Nia tak sempat berduka meskipun rahimnya telah diangkat. Baginya, sudah cukup seorang bayi cantik itu di dalam hidupnya. Bayi yang mereka beri nama Talia, yang berarti hadiah dari surga.

Meskipun terlahir prematur, Talia tumbuh dengan sehat dan dianugerahi paras rupawan. Bagi kedua orangtuanya, Talia adalah taruk berharga yang ditempatkan di dalam sebuah pot kaca tertutup agar terlindung dari berbagai bahaya. Ia mungkin akan tumbuh dengan akar yang rapuh, sebab tak tahu cara menghadapi angin kencang atau hama perusak. Talia selalu dimanjakan dan dipenuhi semua keinginannya. Ferdi yang hanya PNS golongan II, dan Nia yang membantu mencari nafkah dengan membuka jasa laundry di rumah, tetap royal jika menyangkut keinginan dan kepentingan Talia. Keduanya mampu menggadaikan nurani, bahkan menjual jiwa sekalipun, demi melindungi putri semata wayang mereka.

Dimulai saat Talia kecil. Nia menyaksikan Talia berusaha merebut boneka dari tangan temannya. Keduanya saling berebut hingga teman Talia terjatuh karena berusaha mempertahankan boneka miliknya. Talia dinasihati ibu temannya untuk tidak merebut milik orang lain. Alih-alih ikut menasihati dan meminta maaf, Nia justru muntab dan membela Talia. “Talia nggak merebut, dia cuma mau pinjam. Anak kamu saja yang pelit. Makanya, ajarin anak kamu untuk berbagi.”

Talia merasa bahwa perbuatannya tidaklah salah, sebagaimana yang dikatakan oleh ibunya. Talia pun menyunggingkan senyum simpul ke arah ibu dan anak itu seraya berlalu. Hingga Talia pun tumbuh dewasa dengan pemikiran bahwa ia tak pernah salah dan bisa melakukan apa pun sesuai kehendak hatinya. Suatu hari, Talia merasakan dorongan aneh dalam dirinya. Tangannya tiba-tiba menyambar sebuah pensil yang ada di toko alat tulis sekolah, lalu memasukkannya ke saku jaket. Talia keluar dari toko tanpa membayar. Bukannya Talia tak mampu membeli benda-benda yang dicurinya itu. Hanya saja, Talia merasakan kepuasan saat bisa memperolah benda yang diinginkannya secara diam-diam. Talia melakukan pencurian berkali-kali karena dorongan dalam dirinya yang tak bisa dibendung. Hingga suatu hari, satpam sekolah memergoki aksinya. Satpam itu lalu menghubungi Nia terlebih dahulu sebelum menghubungi pihak sekolah, karena permohonan dari Talia. “Tolong, Pak! Sekali ini saja, jangan laporkan saya,” ucap Talia memelas. Alhasil, Nia harus mengeluarkan uang tutup mulut untuk satpam itu.

Ferdi dan Nia tentu saja menyesali kejadian itu. Namun, jika harus menghukum atau menghancurkan reputasi Talia—jika kabar itu sampai tersebar—keduanya tak akan sanggup. Upaya yang bisa mereka lakukan adalah dengan membawa Talia ke psikolog secara sembunyi-sembunyi. Jika ada seseorang yang memergoki mereka mengunjungi psikolog, mereka akan menjadikan insomnia sebagai alasan kedatangan mereka. Karena setidaknya, kesulitan tidur tidak begitu buruk jika dibandingkan kebiasaan mencuri.

Talia pun akhirnya bisa sembuh dari kebiasaan buruknya itu, dan mulai memiliki impian yang ingin dicapainya. Berawal dari melihat pertunjukan tari jaipong saat kelas empat SD, Talia pun mulai memiliki keinginan untuk menjadi seorang penari. Talia mengikuti kursus menari di luar ekskul sekolahnya. Siapa sangka, ternyata Talia punya bakat besar dalam menari jaipong. Talia pun mulai mengikuti berbagai kompetisi antar sekolah. Beberapa piala kemenangan berhasil Talia peroleh dari bakat menarinya itu.

“Aku harus terpilih di kompetisi kali ini,” ucap Talia seraya melihat bayangan dirinya di cermin.

Sebuah kompetisi tari tradisional dengan peserta usia sekolah dari seluruh Indonesia akan segera diadakan. Juaranya akan mendapatkan sejumlah hadiah, termasuk beasiswa. Selain itu, sang juara juga berkesempatan untuk mewakili Indonesia untuk kompetisi skala Internasional yang akan berlangsung beberapa tahun setelahnya.

Talia dengan ambisinya yang meluap-luap tak sudi jika harus dikalahkan oleh Lisa, rival sejatinya dalam tari jaipong. Keduanya selalu bersaing ketat dalam setiap kompetisi. Kemampuan keduanya pun telah diakui oleh pelatih, sampai juri-juri kompetisi yang mereka ikuti. Namun, bakat terkadang tidak diperoleh melalui latihan keras, melainkan anugerah dari Sang Pencipta untuk manusia pilihannya. Seperti halnya Lisa, yang lebih sering unggul dibandingkan Talia. Gerak tubuh Lisa yang luwes, mampu membuat tarian tampak lebih indah. Serta ekspresi wajah Lisa yang kaya, dan sorot mata yang dipenuhi gairah kehidupan, sanggup menjadikan tarian tampak lebih menawan.

Saat itu—saat kompetisi dimulai—keduanya sama-sama duduk di bangku kelas dua SMP. Talia dan Lisa merupakan teman satu sekolah, tapi belajar di kelas yang berbeda. Keduanya berhasil lolos tahap akhir seleksi kompetisi tari tradisional. Selain mereka berdua, ada pula lima kandidat siswa dari sekolah berbeda, dan dari jenis tari berbeda yang lolos tahap akhir seleksi. Sementara itu, hanya ada dua orang terpilih, dari dua jenis tari tradisional berbeda yang akan mewakili kota Jakarta nantinya. Itu artinya, hanya ada satu orang penari jaipong saja yang akan terpilih—antara Talia dan Lisa.

“Lisa, gerakan tari kamu sudah sempurna. Kamu hanya perlu memperbaiki tempo,” ucap wanita muda yang merupakan pelatih tari, sekaligus juri seleksi akhir. Selanjutnya giliran Talia yang menerima penilaian. “Ada beberapa gerakan yang seharusnya bisa lebih mengayun, dan beberapa gerakan harus menghentak,” ujar sang pelatih sembari menunjukkan gerakan yang dimaksud.

Lihat selengkapnya