TARUK

Ratna Arifian
Chapter #5

ULFAT

Sapuan tebal dan pendek dari kuas bercat minyak warna cerah, menampakkan hamparan ungu kebiruan bunga rumpai di tepi sungai. Setiap mata akan melihat impresi indah meskipun tak tampak realis. Para pencinta seni akan teringat pada karya-karya agung pelukis Prancis, Claude Monet. Bakat besar itu datang dari seorang remaja lelaki bernama Ulfat. Remaja lelaki biasa yang bahkan harus mengorbankan uang jajannya selama beberapa bulan hanya demi membeli kanvas, cat minyak, dan perlengkapan melukis lainnya. Maklum saja, ia tidak lahir dari keluarga berada. Dani—bapak Ulfat—bekerja sebagai supir pribadi keluarga Samuel, dan ibunya yang bernama Rohana, tidak bekerja dan hanya mengurus rumah tangga. Ia juga punya seorang adik perempuan yang baru masuk sekolah dasar.

Ulfat yang baru pulang sekolah sedang meniru gambar di kalender yang menempel di dinding rumahnya yang berbau lembap, di atas kanvas yang didapat dengan harga termurah di toko alat lukis. Adiknya yang bernama Ulfi sedang meniru aksi sang kakak dengan menggambar di atas kertas dengan krayon warna-warni.

“Wah... gambar kamu bagus, Ulfi!” puji Ulfat, seraya mengusap-usap kepala sang adik.

“Iya, dong. Lebih bagus dari gambar Kakak, kan.” Ulfi cengar-cengir.

Rohana yang sedang sibuk di dapur berteriak, “Ulfat! Daripada kamu gambar-gambar nggak jelas, mending kamu bantuin ibu!”

Ulfat merengut, lalu segera membereskan peralatan dan meninggalkan lukisannya yang belum selesai. Ia mengambil sapu di sudut ruangan dan mulai membersihkan kupasan kulit bawang yang berceceran di lantai. Rohana selalu membuat dapur berantakan saat sedang memasak, sebab cara memasaknya yang kurang apik.

“Untuk apa kamu rela nggak jajan, cuma buat beli alat-alat lukis? Melukis itu nggak ada gunanya buat masa depan kamu, nggak akan bikin kamu kaya.”

“Ulfat cuma suka aja, kok, Bu. Tapi, Bu, pelukis juga bisa kaya raya, loh.”

“Ya, bisa aja, kalau lukisan kamu istimewa, terus kamu terkenal. Ada yang berani bayar mahal buat lukisan kamu, baru kamu bisa kaya. Tapi nggak semua orang bisa begitu, kebanyakan seniman hidupnya susah. Lukisan kamu menurut ibu biasa aja, tuh. Jadi... daripada rugi uang dan waktu, lebih baik kamu belajar yang rajin, jadi PNS atau pegawai kantoran, jangan jadi supir kayak bapakmu.”

Ulfat mendengus. Lagi-lagi, Rohana merendahkan hobi dan profesi keluarganya sendiri. Sejak dulu Rohana memang begitu. Ulfat ingat, dulu ibunya seringkali mengeluhkan kemiskinan mereka dan tak segan mengungkapkan penyesalannya menikah dengan seorang supir. Namun, Dani—yang tak bisa bicara—tak pernah menanggapi keluhan itu, dan hanya tersenyum penuh ketulusan pada wanita yang sangat dicintainya itu.

Ulfat pernah bertanya pada Dani, mengapa tak pernah marah meskipun dicibir istrinya sendiri. Dengan memakai bahasa isyarat Dani menjelaskan, “Ibumu itu satu-satunya perempuan yang sudi menikahi bapak yang bisu. Meskipun bicara begitu, dia tidak pernah meninggalkan bapak. Bapak sayang sama ibumu, bapak juga yakin ibumu sayang sama bapak. Suatu hari nanti, dia pasti berubah dan mau menerima keadaan.”

Ulfat kagum sekaligus kasihan pada bapaknya. Di mata Ulfat, Dani hanyalah lelaki baik hati dan lugu yang bernasib malang karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Bukan hanya Dani yang harus menghadapi perlakuan seperti itu di sepanjang kehidupan rumah tangganya, Ulfat dan Ulfi pun seringkali terabaikan. Suatu kali, Rohana pernah meninggalkan rumah untuk bertemu teman-temannya di luar, dan meninggalkan Ulfi yang masih balita pada Ulfat yang baru berusia sebelas tahun. Ulfat mengamati sang ibu yang berpenampilan tidak biasa—bersolek dengan gincu merah di bibir yang begitu mencolok, kuku tangan yang juga dicat merah menyala, serta tercium aroma parfum murah isi ulang yang menguar menusuk hidung.

“Ibu butuh waktu juga untuk diri sendiri. Jadi, kamu jaga dulu adikmu beberapa jam saja, ya.”

Beberapa kali, Rohana meninggalkan kedua anaknya itu di rumah. Dani tidak pernah tahu karena Ulfat tidak pernah mengadu. Ulfat menurut saja saat diminta Rohana merahasiakan kepergiannya, sebab Ulfat tak ingin ada keributan antara kedua orangtuanya. Dani mungkin saja bersabar jika hanya menerima cibiran, tapi untuk meninggalkan anak-anak di rumah, Ulfat yakin bapaknya itu akan marah besar.

Lihat selengkapnya