TARUK

Ratna Arifian
Chapter #6

RADEN

Di atas kasur kain perca yang sedikit beraroma apak, Raden menghilangkan rasa lelahnya. Kulitnya yang dipenuhi gudik, disebabkan oleh kutu kasur yang merayapi tubuhnya setiap malam. Angin malam yang dingin, merangsak masuk dari sela-sela kusen jendela yang tak rapat. Jika cuaca sedang dingin, Raden akan menggigil semalaman, sebab tubuhnya hanya ditutupi selimut dari kain sarung. Jika cuaca sedang berangin kencang, gorden dari tambalan kain macam-macam motif akan tampak menari akibat celah di jendela tadi. Setiap hari, Raden akan bangun saat ayam-ayam belum berkokok. Setelah membereskan kasur sekedarnya—karena tidak banyak yang harus dirapikan—Raden menghampiri Suharti yang sedang mempersiapkan bahan kue. Raden bertugas untuk menguleni adonan onde-onde, serta membuat kulit dadar gulung.

Setelah azan subuh berkumandang, Raden mengimami salat—sebab hanya ada mereka berdua di rumah. Selepas salat, keduanya melanjutkan pekerjaan membuat kue. Suharti memasak isian onde-onde dan dadar gulung, sedangkan Raden memasukkan isian ke dalam kulitnya. Sebelum berangkat ke sekolah, kue-kue itu sudah selesai dibuat dan siap dijual. Raden menempuh jarak sekitar dua kilometer untuk sampai ke sekolah. Ia berjalan kaki, sembari membawa dua sampai tiga kotak kue setiap harinya. Peluh yang menetes dari kening, ia usap dengan lengan bajunya. Sesampainya di sekolah, Raden beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon ketapang kencana untuk melepas lelah. Semilir angin dari sela-sela daun, dapat sedikit mendinginkan darah Raden yang mendidih akibat berjalan kaki cukup jauh. Setelah anak-anak berkumpul di kelas, Raden akan masuk ke kelas untuk menawarkan kue-kue yang dibawanya.

Ada yang menyambut Raden dengan antusias, dan tak ragu untuk mengeluarkan uang jajan untuk membeli kue dagangan Raden. Ada pula yang mencibir dan menyebut kue dagangan Raden tidak higienis. Raden akan menutup telinga rapat-rapat untuk itu. Namun, bukan berarti Raden tak pernah merasa sakit hati atas cibiran teman-temannya, ia hanya menahan diri agar tidak membuat masalah.

Raden bukanlah anak yang tergolong pandai. Nilainya selalu sedikit di atas batas minimum, itu pun berkat upaya kerasnya dalam belajar. Setiap kali ada waktu luang, Raden akan belajar dengan tekun hingga membuat nilainya terus membaik. Saat waktu pulang sekolah tiba, beberapa teman sekelas biasanya mengajak Raden untuk bermain dengan mereka, tapi Raden selalu menolak. Raden lebih memilih mencari nafkah daripada membuang-buang waktu untuk bermain. Raden hanya bisa menatap tawa teman-temannya dari kejauhan. Terkadang ada rasa iri yang terlintas di benak Raden, sebab dirinya tidak pernah bisa merasakan masa muda yang menyenangkan seperti teman-temannya.

Setelah ganti seragam dan makan siang dengan menu seadanya, Raden akan mencari kerja serabutan. Jika ada yang butuh jasa angkut di pasar, maka ia akan menjadi kuli panggul. Jika ada kegiatan konstruksi, maka ia menjadi tukang aduk semen atau pengangkut batu bata. Kulit Raden yang dipenuhi gudik, kian memburuk karena gatal-gatal yang didapat dari paparan material konstruksi. Jika sudah begitu, Raden hanya bisa mengandalkan tumbukan daun pegagan—yang diambil dari pinggiran kebun tetangga—untuk mengurangi rasa gatalnya. Sore hari, sepulang kerja serabutan, Raden akan menemani Suharti berbelanja bahan kue di pasar. Malam harinya, Raden belajar sampai matanya terasa berat, lalu tidur pulas tanpa terganggu oleh serangan kutu kasur maupun angin dari celah kusen jendela.

Seperti itulah siklus kehidupan seorang Raden. Sangat melelahkan sampai Raden terkadang ingin melarikan diri atau menghilang dari kehidupan. Jika bukan karena Suharti, mungkin saja Raden sudah menjalankan keinginan terpendamnya itu. Suharti yang tak pernah mengenal bangku sekolah, memiliki kekayaan budi pekerti yang melebihi orang-orang dengan pendidikan paling tinggi sekalipun. Sosok yang selalu mengajarkan kebaikan, nilai-nilai moral, kesabaran, dan kasih sayang tanpa pamrih. Raden tak mengerti, mengapa perempuan sehebat Suharti dipertemukan dengan lelaki seperti Madrais yang prinsip hidupnya bertolak belakang dengan nilai-nilai kebaikan. Suharti senantiasa menasihati Raden agar selalu menjaga salat dan membentengi diri dari keburukan. Mungkin saja, berkat kepatuhan Raden pada nasihat itu, Raden bisa bertahan meskipun hidupnya begitu melelahkan.

Suatu hari, Raden melihat Madrais sedang berjalan menuju suatu tempat. Raden yang sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, mengikuti Madrais diam-diam. Madrais tampak memasuki sebuah gang sempit yang di tumbuhi pohon-pohon mangga di sepanjang sisinya, serta selokan di sepanjang sisi lainnya. Setelah sampai di ujung gang, Madrais memasuki sebuah pintu bambu yang merupakan pembatas antara gang dengan sebuah kebun kosong. Raden mulai mendengar suara-suara yang berasal dari arah kebun kosong itu, suara kerumunan orang yang sedang bersorak-sorai. Raden lalu membuka pintu bambu tadi, dan melihat keramaian di sana. Para lelaki paruh baya, lelaki muda, beberapa ibu-ibu berpakaian daster, sampai beberapa anak kecil, tampak turut serta mengisi kerumunan itu. Raden merangsek masuk di antara kerumunan dan mendapati dua ekor ayam jago yang saling menyerang. Sorak-sorai yang terdengar adalah bentuk dukungan untuk para ayam yang mereka jagokan, serta akibat hormon endorfin yang meluap-luap dari kemenangan si ayam jagoan mereka.

Raden mendapati bapaknya berada di antara para pejudi sabung ayam yang paling keras teriakannya. Sambil mengendap-endap di antara kerumunan, Raden mengamati gerak-gerik Madrais. Bapaknya itu terlihat begitu senang, terlebih saat ayam jagoannya menang. Madrais melakukan selebrasi kemenangan layaknya atlet yang mendapatkan medali emas. Raden hanya bisa mengelus dada seraya berucap istigfar. Madrais telah melanggar janji untuk tidak berjudi lagi. Sebelum menghilang selama berbulan-bulan, Madrais berjanji untuk berhenti berjudi dan mulai bekerja di lokasi konstruksi. Madrais tak pulang begitu lama dengan alasan lokasi kontruksi berada di kota Depok. Ia tak mau menghabiskan gaji untuk biaya pulang-pergi Jakarta-Depok. Namun, Raden memergoki sang bapak yang ternyata ada di Jakarta, tak jauh dari rumah kontrakan mereka, dan sedang asyik berjudi sabung ayam.

Raden menghampiri Madrais. “Bapak! Jadi ini lokasi konstruksi?”

“Raden, kamu kenapa ada di sini?”

Lihat selengkapnya