Ia merasa seolah-olah menjadi pusat semesta. Semua orang harus melihat ke arahnya, seraya melontarkan bermacam-macam ungkapan kekaguman. Ia selalu dibela dan dilindungi. Setiap keinginan, serupa titah bagi kedua orangtuanya. Ia merasa begitu istimewa, sebab pemikiran itulah yang ditanamkan padanya sejak lahir. Tidak ada yang salah, saat seseorang hanya ingin menjadi istimewa. Tidak pula salah, saat orangtua hanya ingin mencintai buah hatinya sepenuh jiwa. Namun, menjadi serakah adalah sebuah pilihan.
Sepanjang hidup, Talia selalu bersembunyi di balik topeng lugu nan santun demi mendapatkan cinta dan perhatian dari banyak orang. Tutur kata yang halus, senyum yang selalu membingkai wajah elok, serta sikap ramah yang mencuri hati, telah menjadi citra diri seorang Talia di mata banyak orang.
“Sudah cantik, ramah pula. Makanya banyak yang suka kamu, Tal.”
“Kamu berbakat. Tarian kamu indah. Kamu pasti bisa jadi penari hebat.”
“Dengan kecantikan dan bakat menari, seluruh mata akan melihat ke arahmu, Talia.”
Talia dan ambisinya telah menciptakan sebuah ikatan. Maka, ambisinya adalah hal mutlak untuk diwujudkan. Lalu, Talia menemukan salah satunya dalam wujud sebuah tarian indah memesona yang menarik minatnya, yakni tari jaipong.
Jika aku menjadi penari jaipong kelas dunia, aku pasti akan membuat semua mata tertuju padaku dan mengagumiku.
Pemikiran itu membuat Talia tak pernah merasa puas. Hingga rasa iri dan dengki, mulai menggerogoti jiwanya yang rapuh. Talia tak segan untuk melakukan berbagai cara—termasuk melukai—hanya untuk menyingkirkan pesaing dan mewujudkan hasratnya yang tak terbendung. Seperti yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Bukan hanya jaipong, Talia juga menemukan ambisi lain setelah sosok Algis yang bak oasis di padang gurun, menjelma air yang bisa melepas dahaga keserakahannya.
“Beruntungnya Talia bisa menaklukan hati Algis yang serupa Benteng Konstantinopel.”
“Mereka berdua adalah pasangan paling serasi di sekolah.”
Limpahan pujian sekaligus tatapan iri, membuat Talia hidup nyaman di dalam oasis dambaannya. Meskipun, tak pernah merasakan debaran jantung layaknya seseorang yang sedang jatuh cinta, Talia tak peduli. Cinta sepihak dari Algis untuknya, sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan hubungan. Hingga suatu ketika, Talia kembali berhadapan dengan seorang pesaing. Kali ini, bukan Lisa yang punya bakat hebat dalam menari jaipong, melainkan seorang siswi populer yang punya pesona sama besar dengan Talia, seorang pemandu sorak yang cantik dan tinggi semampai bernama Cherish.
Seringkali, Talia yang memilih berjalan kaki untuk masuk ke gerbang sekolah, teralihkan oleh pesona Cherish yang selalu diantar mobil mewah oleh supir keluarganya.
“Cherish beruntung, ya. Sudah cantik, populer, keluarganya juga kaya raya. Betul-betul hidup seperti tuan putri,” ucap Alice, saat sedang berjalan di samping Talia. “Tal, kamu bukannya selalu diantar papamu setiap hari, kan? Kok, nggak sampai ke dalam gerbang?”
“Sengaja, kok. Biar olahraga sedikit dari belokan jalan.”
“Oh, iya, deh, ngerti. Penari memang harus selalu bugar, ya, Tal.”
“Iya, dong.”
Senyum Talia yang tertahan, mulai merekah saat melihat Algis yang berdiri di hadapannya seraya melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat.
“Wah... irinya!” seru Alice.
Ya, setidaknya, Cherish tak punya pacar keren seperti Kak Algis, batin Talia.
Untuk beberapa waktu, Talia merasa lebih unggul dari sang rival. Hingga suatu hari, Cherish turun dari sebuah mobil sedan mewah. Namun, kali ini bukan supir keluarga yang tampak duduk di kursi pengemudi, melainkan seorang lelaki muda berwajah rupawan. Lelaki gagah dengan gaya parlente itu, turun terlebih dulu dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Cherish. Semua mata memandang sontak berseru, memeriahkan sebuah momen bak sebuah adegan roman picisan.
Sial! Talia mengumpat.
***
Hari-hari awal sekolah, di tahun ajaran baru adalah suasana yang begitu berapi-api. Remaja perempuan dan lelaki mengenakan seragam yang masih cemerlang, serta sepatu dan tas yang beragam, tapi tampak baru. Langkah ringan dan wajah-wajah riang para darah muda yang berjalan menuju gerbang masa depan adalah potret indah kehidupan yang akan terkenang di masa dewasa. Kerumunan remaja dengan pakaian serupa dan rapi, deretan bangku, meja, dan papan tulis di setiap ruang kelas yang begitu khas, serta suara bel yang nyaring terdengar menyusuri lorong sekolah di setiap pergantian jam pelajaran, akan menjadi bagian dari masa remaja yang menyenangkan. Bagi sebagian lagi, pengalaman cinta pertama mungkin akan menjadi hal yang istimewa. Seperti halnya Algis yang menemukan cinta pertamanya di bangku SMA. Tak butuh waktu lama untuk Algis dan Talia saling mengenal dan menjalin kasih.
Pagi itu, di saat para siswa ramai memasuki gerbang sekolah, Talia diantar Ferdi dengan mobil sedan usang, telah sampai di tikungan jalan. Talia meminta sang papa untuk menurunkannya di sana.
“Kenapa kamu selalu minta turun di sini? Gerbang sekolah masih lumayan jauh,” tanya Ferdi heran.
Talia diam sejenak, seperti sedang menimbang-nimbang jawabannya. “Papa mau aku jujur?”
“Iya.”