Kilauan pirus beriak-riak diterpa cahaya matahari yang menerobos kaca jendela, menjadi keindahan yang tengah diabadikan di atas kanvas oleh seorang perupa muda berbakat. Di dalam air, tampak pemuda berbakat lain yang sedang meluncur cepat, layaknya peluru yang sedang ditembakkan ke udara. Pemuda itu adalah Khavin yang sedang giat berlatih untuk mengikuti kejuaraan renang dunia beberapa bulan lagi. Sejak lulus SMA, Khavin memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke universitas, melainkan fokus berlatih dan mengikuti berbagai kejuaraan renang di tingkat nasional maupun internasional. Tekadnya untuk menjadi atlet renang terbaik sudah bulat.
Sementara itu, perupa berbakat yang duduk di bangku penonton, tampak tekun meramu kombinasi warna cat minyak untuk menggambarkan suasana di hadapannya. Seperti seorang Thomas Cole yang sedang melukis pemandangan gurun Amerika, atau pemandangan gunung setelah badai petir dalam lukisan ‘The Oxbow’. Keduanya punya aliran melukis yang berbeda, tapi mampu mencipta keindahan yang tak terbantahkan. Ulfat bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan maestro lukis kelas dunia, tapi rasa cintanya pada seni rupa mungkin saja setara.
Ulfat sedang menemani Khavin latihan. Ia membantu Khavin membawa perlengkapan renang, membelikan makanan dan minuman, serta memberinya dukungan. Sembari bertugas sebagai asisten, Ulfat pun memanfaatkannya untuk mendapatkan momen yang bisa ia abadikan di atas kanvas. Pemuda yang sedang bergerak bebas di kedalaman air beserta mimpi besarnya adalah momen yang Ulfat lukis.
“Kakak semakin cepat. Kalau terus begini, Kakak pasti bisa jadi juara dunia.”
Khavin yang sudah selesai mandi dan berpakaian menghampiri Ulfat. “Oh, ya? Kalau kamu bilang begitu, pasti bakal terjadi,” ujar Khavin. “Nanti, kalau kakak bertanding di kejuaraan dunia, kamu ikut, ya.”
Ulfat berbinar. “Serius aku boleh ikut?”
“Iya, dong. Kan, kamu asisten kakak.” Khavin merangkul Ulfat dan mengamati lukisannya. ”Wah... ini bagusnya buat dipajang di kamar.”
Ulfat menyerahkan lukisannya. “Kalau gitu, ini hadiah buat Kakak.”
“Serius? Nggak akan kamu jual?”
“Nggak. Itu hadiah supaya Kak Khavin lebih semangat bertanding.”
"Makasih, Dik!" ucap Khavin semringah.
Sesampainya di rumah, Khavin menggantung lukisan Ulfat di dinding kamarnya—tepat di bagian depan tempat tidur. Sebelum membenamkan diri dalam peraduan, Khavin akan selalu mengingat mimpi besarnya melalui lukisan itu.
Khavin hampir saja terlelap, andai seseorang tidak mengetuk pintu kamarnya dengan kencang. Khavin mendengus, lalu berusaha bangkit dari tempat tidur. Di balik pintu, Stevie tersenyum sampai tampak deretan giginya.
“Kamu nggak mau kasih ucapan selamat sama kakakmu ini?” tanya Stevie yang baru saja diberi jabatan wakil direktur di rumah sakit tempatnya bekerja.
Khavin menyunggingkan senyum simpul. “Memangnya Kakak pernah kasih aku ucapan selamat kalau dapat medali?”
“Iya, maaf. Kakak terlalu sibuk, sampai lupa kasih kamu selamat. Lain kali, kakak pasti akan datang ke pertandingan kamu, tapi kakak ingin kamu turun ke bawah sekarang dan menyapa tamu-tamu kakak. Ok?”
“Ok, cuma menyapa aja, kan?”
“Iya. Kamu boleh ke kamar lagi secepatnya.”
Dengan langkah berat, Khavin beranjak dari kamar dan mendapati sudah banyak orang di rumahnya. Mereka adalah rekan sejawat Stevie, mulai dari seangkatan, senior, sampai junior, membaur dalam perayaan kecil itu. Selain itu, ada pula teman-teman Samuel dan Marina, yang sengaja diundang untuk menyumbang pujian bagi anak pertama mereka. Bermacam-macam makanan mahal, hingga berbagai jenis wine dan cocktail tampak memenuhi meja panjang di sudut ruangan. Sedangkan di halaman belakang, tampak sebuah podium tempat band jazz indie yang cukup terkenal sedang tampil. Seorang MC ternama pun diundang untuk memeriahkan acara.
Khavin yang berpakaian santai—kaos polos dan celana bergo pendek—menjadi pusat perhatian. Tampak para tamu saling berbisik. Hampir tak ada orang yang Khavin kenal, karena begitu jarangnya ia hadir di acara sosial keluarganya.
“Ya ampun... ini ternyata anak bungsu Pak Samuel. Ganteng begini tapi nggak pernah kelihatan,” ucap seorang wanita sebaya Marina.
“Iya, dia memang kurang suka keramaian,” sahut Marina.
“Masa? Atlet kalau tanding pasti menghadapi keramaian penonton, kan?”
Stevie dan Jonathan datang menghampiri. Suasana mulai terasa tak nyaman bagi Khavin. Terlebih, saat Samuel meremas pundaknya dan berkata, “Anak ini hanya malu karena tak bisa memenuhi ekspektasi orangtuanya. Iya, kan?”
Seorang rekan sejawat Samuel menimpali. “Kalau jadi atlet harus jadi yang terbaik supaya masa depan terjamin, kan? Tapi buat mereka yang kalah, nggak akan dapat apa-apa.”
“Iya, kenapa memilih jadi atlet, sih? Padahal kamu bisa jadi dokter juga, atau ikut kakakmu kelola perusahaan, biar masa depan lebih terjamin,” ujar teman Marina lagi.
“Saya juga pernah bilang gitu, Tante. Saya ajakin dia masuk ke perusahaan, tapi ditolak mentah-mentah,” kata Jonathan.
Samuel kini menepuk-nepuk punggung Khavin dengan keras. “Nggak masalah Khavin bakal jadi atlet sukses atau gagal, dia tetap bisa hidup nyaman karena fasilitas yang kita berikan.”
Khavin mengepalkan kedua tinju di samping tubuhnya karena menahan marah. Ia tak bisa lagi hanya diam dan menahan diri. “Apa di mata kalian seorang atlet yang pekerja keras dan selalu menjunjung tinggi sportifitas adalah profesi yang buruk? Lalu, bagaimana dengan pejabat negara yang korup? Apa tidak masalah karena mereka punya profesi yang hebat?” Khavin bicara sembari menatap tajam ke arah Samuel yang merupakan pejabat negara.
“Khavin, kenapa bicara begitu?” Marina tampak terganggu, hingga menyela ucapan sang putra.
“Bicara kamu ngawur. Sudah, kamu ke kamar lagi sana!” perintah Samuel.
“Nggak. Di sini terlalu berisik.” Khavin muntab.
Alih-alih pergi ke kamar, Khavin pergi meninggalkan rumah. Ia membanting pintu, lalu mengambil sebuah batu seukuran telapak tangan dan melemparkannya ke jendela depan rumahnya. Seketika, jendela itu hancur berhamburan diiringi teriakan panik para tamu.