TARUK

Ratna Arifian
Chapter #9

KEBOHONGAN

Aroma gaharu yang hangat dan manis, menyeruak ke sekeliling ruangan yang dipenuhi ornamen kayu dan bambu. Lilin aromatik sedang dinyalakan di sebuah rumah bergaya tradisional yang tertata rapi, menyiratkan penghuninya adalah orang-orang yang disiplin dan menyukai keindahan. Kepulan asap tipis beraroma lezat tampak menari-nari di atas makanan baru matang yang tersaji di meja. Cah kangkung hijau terang yang berpadu dengan warna merah tomat dan cabai, sup pangsit ayam yang beraroma wijen dan merica, ayam rica-rica dengan bumbu melimpah, serta buko pandan berwarna hijau pastel yang cantik, tampak memenuhi meja makan. Meskipun menggugah selera, Talia tampak tak tertarik dan hanya makan setengah piring nasi dengan lauk-pauk secukupnya. Sebelum menyendok, Talia menyingkirkan tomat dan cabai ke sisi piring. Ia pun hanya makan sedikit sup pangsit ayam, sebab tak suka aroma wijen.

“Makanannya nggak enak, ya?” tanya Arini.

Talia tersentak. “Enak, kok, Tante. Aku cuma punya perut yang sensitif, jadi nggak bisa makan banyak.”

Air muka Arini menyiratkan kekecewaan. Kerja kerasnya memasak seolah-olah tak berarti. “Oh, kalau begitu makan secukupnya aja, ya!

“Talia, kan, penari, Bu, jadi harus jaga makanan,” celetuk Algis.

“Dari kapan kamu mulai menari?” tanya Budi, berusaha mengakrabkan diri.

“Dari kelas empat SD, Om.”

“Wah... kamu pasti sudah hebat sekali, ya.”

Di sela-sela percakapan, Talia tampak berkali-kali memeriksa ponsel dan mengetik. “Nggak juga, kok, Om,” jawab Talia tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

“Kamu pasti udah sering ikut lomba tari?” tanya Arini.

“Iya, Tante. Medaliku juga udah cukup banyak. Tahun depan aku ikut kejuaraan internasional pertamaku.”

“Wah... hebat!” seru Budi.

“Itu dimakan dulu keburu dingin!” kata Arini.

Talia menyesap kuah sup dengan enggan. Arini sengaja memperhatikan Talia agar menghabiskan supnya. Setelah buko pandan menjadi penutup yang manis untuk pertemuan pertama Talia dan kedua orangtua Algis, meja pun dibersihkan.

“Tal, kamu tunggu aja di ruang tamu,” pinta Algis. Talia tak membantah.

Pertemuan hari itu sudah cukup untuk membuat Arini dan Budi mengenal perangai Talia. Setelah mengantar Talia pulang, Algis duduk tegak di sofa, Arini dan Budi duduk di sisi kanan dan kirinya—siap menginterogasi.

“Apa, sih, yang kamu suka dari Talia?” tanya Arini.

Algis mengusap dagu dengan telunjuknya. “Mmm... karena dia cantik.”

“Algis, memangnya cukup dengan cantik saja kalian bisa cocok?”

“Aku merasa cocok, kok, sama Talia.”

“Ayah sebetulnya kurang suka sama dia,” aku Budi.

“Loh, memangnya Talia kenapa, Yah?”

Arini menggenggam tangan Algis. “Ayah sama ibu punya pendapat yang sama. Ibu nggak suka dia pilih-pilih makanan. Selain itu, dia bersikap seperti tuan putri. Tapi, yang paling kita nggak suka, dia itu jadi pengaruh buruk buat kamu. Sejak kamu sama dia pacaran, kamu jadi lupa sama matematika, dan kamu juga melanggar janji kamu untuk tidak berkendara sebelum punya SIM. Dan, semua itu demi menuruti keinginan Talia. Ibu rasa, Talia itu anak yang egois.”

Algis menarik tangan dari genggaman Arini. “Bu, Talia itu bukan pilih-pilih makanan, dia bilang perutnya sensitif, kan. Talia seperti tuan putri karena dia anak semata wayang. Kalau tentang matematika, kalian nggak pernah paksa aku untuk jago matematika. Jadi, terserah aku mau belajar atau enggak. Kalau soal berkendara, itu memang keputusanku, bukan salah Talia.”

“Kok, nada bicara kamu tinggi begitu?” tanya Budi.

“Iya, sejak kenal Talia juga, kamu jadi kayak gini,” ucap Arini.

Algis tak menanggapi pertanyaan kedua orangtuanya dan memilih untuk beranjak menuju kamar. Algis membanting pintu karena kesal. Arini tampak memegangi kepala, sedangkan Budi mengelus dada. Algis membenamkan tubuhnya di tempat tidur karena kesal. Ia tak menyangka bahwa gadis pilihannya, mendapat tentangan dari kedua orangtua dengan alasan tak masuk akal.


***

Jalanan ibu kota tampak padat merayap. Cuaca terik tak mampu menembus lapisan baja si hitam gagah penguasa jalanan. Udara sejuk dan kursi empuk yang dilapisi material kulit berkualitas, membuat siapa pun yang berada di sana enggan untuk beranjak. Seperti halnya Talia yang duduk dengan nyaman di samping pengemudi, seraya memenuhi wajahnya dengan senyuman. Khavin duduk di balik kemudi, menampakkan otot lengannya yang lincah memegang kendali Rubicon hitam kebanggaannya. Saat jalanan mulai lengang, mobil melaju dengan kencang menuju lapangan golf. Khavin tampak menyapa beberapa teman yang juga rutin datang untuk berolahraga di sana. Talia kagum karena Khavin berada di level yang berbeda. Ia tak percaya, lelaki sehebat itu sedang berjalan di sampingnya dan menggenggam tangannya.

“Ayo, aku ajari main golf!” Khavin menarik tangan Talia.

Lihat selengkapnya