Malam itu, mungkin adalah malam-malam biasa bagi banyak orang. Sebagian dari mereka sedang menikmati langit dengan sinar bulan, seperti dalam lukisan karya Homer. Sebagian lagi, sedang berselimut damai dalam peraduan, atau bercengkerama dengan keluarga terkasih di dalam rumah yang hangat. Namun, di suatu tempat—di waktu yang sama—peristiwa memilukan terjadi begitu cepat. Berawal dari janji temu antara Talia dan Algis di area sepi sebuah perumahan. Saat itu, Algis baru pulang dari rumah temannya yang tinggal di perumahan itu.
“Talia, mereka siapa?” tanya Algis pada Talia, saat melihat Khavin dan Ulfat turun dari mobil Jeep Rubicon hitam.
Khavin berdiri di samping Talia. “Kenalin, ini pacarku Khavin,” jawab Talia.
Ulfat yang berada di belakang Khavin, menarik lengan Khavin dan berbisik, “Kak, kita mau apa di sini?”
“Kamu diam aja di belakang!” perintah Khavin.
Algis terkejut bukan kepalang. “Pacar apa maksud kamu? Aku, kan, pacar kamu.”
Khavin mendorong pundak Algis. “Jangan berkhayal! Lu itu cuma penguntit.” Khavin mendorong pundak Algis berkali-kali.
Algis menepis tangan Khavin. “Penguntit? Talia, coba jelaskan sama orang ini kalau aku pacar kamu!”
Talia bergeming. Ia melipat kedua lengannya di dada dan mengalihkan pandangan dari Algis. Sementara itu, Algis bergerak maju—mendekati Talia—sambil terus mengaku sebagai kekasih Talia. Situasi itu memicu amarah dalam diri Khavin, ia melayangkan sebuah pukulan keras ke wajah Algis, hingga membuatnya limbung. Ulfat yang terkejut, segera menghampiri Khavin dan menahan tubuhnya.
“Kak, berhenti!” teriak Ulfat.
Khavin menepis tangan Ulfat. “Kamu jangan ikut campur, tunggu di belakang!”
“Tapi, Kak. Ini bahaya.”
Khavin terdistraksi oleh keberadaan Ulfat, hingga membuatnya kena pukulan balasan dari Algis. Emosi Khavin semakin terpancing, hingga kembali melayangkan tinju berkali-kali. “Jauhi Talia, atau kamu mati!” teriak Khavin.
Algis yang terkena pukulan bertubi-tubi, tak mampu lagi menahan tubuhnya, dan terkapar di tanah. Namun, Algis masih memanggil-manggil nama Talia. Khavin semakin membabi buta, hingga melayangkan tendangan ke arah kepala Algis agar berhenti menyebut nama Talia. Sementara itu, yang dipanggil-panggil namanya oleh Algis, tampak tak peduli dan hanya melihat seluruh kejadian dari sudut matanya saja. Ulfat yang ketakutan, kembali memegangi tubuh Khavin yang hendak melayangkan tendangan kedua.
“Kak Khavin. Tolong berhenti! Dia bisa mati.”
Khavin menghempaskan kedua tangan Ulfat yang memegangi tubuhnya dengan keras. “Ulfat, kalau kamu nggak mau kena pukul juga, menyingkir sekarang!”
Ulfat terpaku. Khavin mengerahkan segenap tenaga, lalu kembali melayangkan tendangan ke kepala Algis yang terkulai. Khavin bersorak bak tentara menang perang. Namun, seketika rasa cemas merayapi tubuh Khavin, saat tubuh Algis tak bergerak.
“Ayo pergi dari sini!” ucap Khavin.