TARUK

Ratna Arifian
Chapter #11

KOMA

Kehidupan yang diliputi cahaya gemerlapan itu, kini tengah redup. Sebuah lubang hitam sedang melahap cahaya—menelan bintang-bintang hingga gulita. Dua orang yang hatinya tengah hancur lebur itu, bak debu yang mengisi ruang kosong di alam semesta, dan turut tertelan ke dalam lubang hitam. Meninggalkan suara rintihan pilu karena rasa duka yang menghimpit dada. Sang putra tercinta yang bak cahaya kehidupan bagi keduanya, sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit yang dingin. Alat bantu napas yang terpasang di hidung, selang infus dan monitor denyut jantung, kini terhubung dengan tubuhnya yang sudah tak merespons rangsangan apa pun.

Dengan gerakan lembut dan hati-hati, Arini mengusapkan handuk basah ke lengan Algis. Membasuhnya agar tetap bersih dari debu yang menempel, seraya memanjatkan doa agar lengan-lengan itu kembali menunjukkan denyut kehidupan, agar kedua mata yang tertutup dapat kembali memancarkan sinar gemerlapan. Sementara itu, Budi terduduk lemas di sudut sofa samping ranjang, tertunduk seraya memejamkan mata. Tak ada lagi yang dapat dilakukan kedua orang yang hatinya tengah hancur lebur itu, kecuali doa yang tak pernah putus pada Sang Pemilik Jiwa, agar putra mereka diselamatkan.

Keheningan pilu di ruangan serba putih itu, tiba-tiba pecah saat pintu dibuka dengan cepat. Ardy yang bermandikan peluh dan mata berkaca-kaca, menghambur ke dalam ruangan. Tampak pula dari suara helaan napasnya yang berat, bahwa ia tadi berlari agar cepat sampai di ruangan.

“Bagaimana bisa?” ucap Ardy, seraya berjalan limbung mendekati sisi ranjang—tempat sang adik tercintanya terbaring.

Air mata yang tertahan, kini mengalir deras di pipi Ardy. Ia tak percaya, adik yang selalu riang dan banyak bicara itu, tak mampu bergerak—terkurung dalam tubuhnya sendiri. Ardy mengguncang pelan tubuh Algis. “Algis... ini Kakak pulang. Masa kamu cuekin, sih? Bangun Algis!” ucap Ardy lirih.

Budi menghampiri sang putra sulung, lalu mengusap-usap punggungnya. “Ayo duduk! Tenangkan diri kamu dulu!”

“Apa kata dokter, Yah?”

“Waktu dibawa ke rumah sakit, Algis sudah dalam kondisi koma. Penyebabnya benturan hebat di kepala. Cedera seperti itu, biasanya didapat oleh seseorang yang tertabrak mobil. Tapi, menurut polisi, tidak ada tanda-tanda kecelakaan mobil.”

Arini menimpali. “Kita harus menunggu hasil penyelidikan polisi untuk penyebab pastinya.”

“Bisa jadi, Algis adalah korban penganiayaan,” ungkap Ardy.

“Iya, kemungkinan lainnya itu,” ucap Budi lesu. “Alhamdulillah, Algis masih merespons obat, kalau enggak, akibatnya fatal. Nyawanya nggak akan bisa tertolong.”

“Biadab. Siapa orang yang tega berbuat sejahat itu? Kalau sampai pelakunya tertangkap, akan tamat riwayatnya.” Ardy murka.

“Ibu juga nggak habis pikir. Setahu Ibu, Algis nggak pernah punya musuh.”

“Di mana tepatnya kejadian itu, Bu? Apa yang Algis lakukan di sana?”

“Algis baru pulang dari rumah teman sekolahnya, sekitar jam 10.00 malam. Dia jalan sendirian keluar gerbang kompleks supaya cepat dapat ojek online katanya. Jadi... temannya juga nggak tahu kejadiannya, karena rumah dia lumayan jauh dari gerbang kompleks. Dia tahu kabar pun karena ibu yang telepon dia. Dia dan orangtuanya syok, dan langsung datang ke sini semalam, ikut menunggu di luar ruang UGD.”

Ardy kembali ke sisi ranjang Algis. Ia genggam tangan sang adik, seraya memejamkan mata. Ardy berdoa dengan tulus pada Sang Pemilik Hidup, agar sang adik kembali membuka mata dan tersenyum lebar seperti sedia kala. Ia ingin berdialog sepanjang malam—seperti yang sering dilakukan keduanya—setiap kali Ardy pulang ke rumah setelah berbulan-bulan lamanya.

Kakak janji, siapa pun yang telah melakukan ini padamu, dia akan menerima hukuman setimpal.

***

Lihat selengkapnya