Dua lelaki berbadan tegap dan tinggi, sedang menunggu pemilik rumah untuk membukakan pintu. Yang lebih muda—usia pertengahan 20 tahun—adalah Ipda Erwan, dan yang lebih tua—usia awal 30 tahun—adalah Iptu Agung. Keduanya adalah anggota Satuan Reserse Kriminal Polda Metro Jaya yang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan kasus dugaan penganiayaan Algis. Setelah sebelumnya melakukan olah tempat kejadian perkara, keduanya mendatangi rumah Danu—teman Algis yang ada di dekat lokasi kejadian. Sebelum tragedi nahas menimpa Algis, ia berkunjung ke rumah Danu untuk belajar bersama. Karena itulah polisi segera meminta keterangan Danu dan sang ibu.
“Jam berapa Algis pulang hari itu?” tanya Iptu Agung.
“Sekitar jam 08.00 malam,” jawab Danu.
“Apa dia bilang mau bertemu seseorang setelah pulang dari sini?”
“Tidak, Pak.”
“Algis pulang sendirian?”
“Iya, Pak. Saya menawarkan diri untuk mengantar dia pulang ke rumah, tapi dia menolak. Mau pesan ojek online saja katanya,” terang ibu Danu. “Tapi... anehnya, Algis nggak langsung pesan ojek dari sini. Dia jalan kaki dari sini, katanya mau pesan di dekat gerbang kompleks saja.”
“Mungkin, saat itu dia janji bertemu dengan seseorang di dekat gerbang kompleks,” ucap Ipda Erwan.
“Iya, kemungkinan begitu. Oh, ya, apa di sekitar kompleks tidak ada CCTV?” tanya Iptu Agung.
“Setahu saya, hanya ada beberapa CCTV di area dalam kompleks. Kalau di luar pos keamanan sampai ujung benteng perumahan, tidak ada.”
Sebelum datang ke rumah Danu, kedua polisi pun telah meminta keterangan dari penjaga keamanan kompleks. Namun, tidak ada petunjuk apa pun, karena tempat kejadian berada di luar jangkauan pos keamanan.
Setelah merasa cukup mendapatkan keterangan, Iptu Agung mengajukan pertanyaan terakhir pada Danu. “Oh, ya, Danu, apa mungkin kamu tahu sesuatu tentang Algis? Misalnya, dia sedang berkonflik dengan seseorang, atau sedang ada masalah.”
Danu memutar bola matanya. “Saya nggak tahu ini ada hubungannya atau enggak. Algis sempat cerita sedikit tentang pacarnya. Katanya pacarnya berubah, terus pacarnya ingin putus, tapi Algis menolak.”
“Kamu tahu siapa pacarnya?” tanya Ipda Erwan.
Danu mengangguk. “Dia adik kelas kami di sekolah, namanya Talia.”
Kedua polisi saling berpandangan dan mengangguk. Tanpa bicara, keduanya sepakat bahwa informasi itu mungkin saja merupakan sebuah petunjuk. Tanpa menunda lagi, Iptu Agung dan Ipda Erwan menemui Talia di sekolah. Ditemani sang wali kelas, Talia pun menemui kedua polisi di ruang guru.
Talia sudah menduga bahwa—cepat atau lambat—polisi pasti mendatanginya. Oleh sebab itu, Talia telah berlatih untuk tetap bersikap tenang saat hal itu terjadi. Talia memasang wajah dan sikap santai seolah-olah tak tahu apa yang terjadi. Talia bahkan pura-pura terkejut, saat kedua polisi mengabarkan kejadian yang menimpa Algis.
“Bagaimana kondisi Kak Algis sekarang?” Talia berhasil membuat matanya tampak berkaca-kaca.
“Kamu pacarnya, tapi kamu nggak tahu kondisi pacar kamu sekarang?” tanya Ipda Erwan curiga.
“Itu... karena kami sedang ada masalah. Oh, ya, malam itu saya rencananya mau bertemu dengan Kak Algis untuk menyelesaikan masalah kami. Ini isi chat kami malam itu,” aku Talia sembari menunjukkan pada polisi isi percakapan dirinya dengan Algis.
Talia : Kak Algis di mana? Aku mau bicara.
Algis : Aku ada di rumah Danu. Satu jam lagi aku kabari.
“Setelah satu jam, Kak Algis ternyata nggak kasih kabar. Bahkan sampai sekarang. Makanya saya nggak tahu apa yang terjadi.”
“Saat itu kamu ada di mana?” tanya Ipda Erwan.
“Saya ada di rumah.”
“Apa orangtua Algis nggak kasih kabar ke kamu? Atau kalian belum saling kenal?”
“Kami sudah saling kenal, Pak. Mungkin orangtua Kak Algis belum sempat memberi kabar.”
“Kami juga baru mendengar kabar ini, Pak,” ungkap sang wali kelas—wanita paruh baya berkacamata.