TARUK

Ratna Arifian
Chapter #13

PENGACAU

Madrais kalah judi. Ia melangkah gontai di antara gang permukiman padat yang remang-remang. Ia lampiaskan kekesalannya pada apa saja yang tergeletak di tanah. Ia tendang botol air mineral kosong atau kaleng bekas sekuat tenaga. Karena kebiasaannya itu, ia seringkali menerima umpatan warga yang marah karena terkejut atau terkena botol dan kaleng yang melesat di udara. Jika sudah begitu, Madrais akan lari tunggang-langgang agar tak sampai kena sumpah serapah atau terlibat perkelahian.

Madrais memutuskan untuk pulang ke rumah karena uang untuk makan atau menginap di luar, telah habis untuk berjudi. Sesampainya di depan pintu rumah, Madrais menyadari ada suara yang asing sedang berbicara di dalam rumahnya—suara lelaki yang sudah berumur. Alih-alih masuk ke rumah, Madrais memutuskan untuk menguping pembicaraan dari luar. Madrais mendengarkan dengan jelas masalah yang dibicarakan lelaki itu dengan Raden dan Suharti. Madrais tercengang, saat lelaki itu menawarkan uang sebesar dua miliar sebagai imbalan untuk memberikan kesaksian palsu dari Raden.

Madrais menyeringai. Tawaran yang luar biasa besar hanya untuk sebuah kesaksian palsu, Raden tidak akan rugi apa-apa. Ini kesepakatan yang sangat bagus. Dengan uang itu, kita bisa memulai hidup baru.

Saat lelaki itu keluar dari rumah, Madrais segera bersembunyi, sambil tetap mengamati situasi yang terjadi. Madrais tahu bahwa Suharti menyimpan uang muka dari lelaki itu. Saat Raden sedang tidak di rumah dan hanya ada Suharti, Madrais meminta uang itu.

“Jangan, Pak! Ibu mau kembalikan uang itu.” Suharti memohon saat Madrais sibuk mencari koper berisi uang di sekitar rumah.

“Bapak cuma mau pinjam uang itu untuk dilipat-gandakan,” kata Madrais, sambil terus mengedarkan pandangan dan tubuhnya ke sekeliling.

Rumah kontrakan mereka yang mungkin tak lebih besar dari garasi mobil orang kaya, membuat Madrais tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan keberadaan koper itu. Suharti panik dan berusaha menghentikan Madrais. Ia mencoba merebut koper dan memegangi tangan Madrais, lalu menghalangi langkah Madrais yang hendak meninggalkan rumah. Namun, Suharti kalah tenaga dan jatuh terduduk di lantai karena terdorong tubuh Madrais yang memberontak. Madrais pun lari membawa koper berisi uang lima ratus juta.

Raden pulang ke rumah dan mendapati Suharti sedang menangis di tepi ranjangnya. Amarah begitu berkobar dalam dada Raden saat mendengar kabar bahwa uang yang hendak dikembalikan pada Samuel, dibawa lari Madrais. Raden mengepalkan kedua tangannya agar amarahnya tak meledak. Ia lalu berlari keluar rumah. Larinya kencang, bak kuda pacuan yang kena cambuk joki. Sembari berlari, Raden berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan emosi yang sudah melewati batas toleransi. Semua orang yang Raden lewati di sepanjang jalan, menatap dengan heran dan iba. Mereka prihatin mengetahui seseorang telah kehilangan kewarasan di usia yang begitu muda. Sementara itu, Raden tak peduli jika orang-orang menganggapnya tak waras. Ia hanya ingin melepaskan belenggu yang menghimpit dadanya.

Di hari-hari berikutnya, Raden terus mencari keberadaan Madrais. Ia sambangi tempat sabung ayam, tempat judi kartu, tempat memasang nomor togel, dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan perjudian. Namun, Raden tak menemukan Madrais di mana pun. Raden menduga bahwa bapaknya itu telah pergi ke kota lain, agar bisa berjudi dengan lebih leluasa—agar tak ada yang bisa menghentikannya. Dengan hilangnya uang itu dari genggaman, Raden seolah-olah telah menerima tawaran dari Samuel. Raden tak punya pilihan, selain bersedia untuk memberikan kesaksian palsu.

***

Talia berjalan di lorong rumah sakit. Ia hendak menuju ke kamar rawat inap Algis. Tinggal melewati satu belokan lorong lagi untuk sampai, Talia menghentikan langkah sejenak. Ia perhatikan sekeliling, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Talia meneteskan obat tetes mata ke kedua matanya. Ia lanjutkan langkahnya menuju kamar Algis.

“Om, Tante, gimana keadaan Kak Algis?” tanya Talia pada Arini dan Budi. Obat tetes mata tadi membuat mata Talia mengeluarkan cairan bening yang mengalir di pipinya. Talia tersedu-sedan, seolah-olah sedang larut dalam kesedihan.

Arini merengkuh pundak Talia dan memintanya untuk mendekat ke ranjang Algis. “Masih belum sadar. Dokter juga nggak tahu kapan Algis akan membuka matanya lagi.”

Lihat selengkapnya