TARUK

Ratna Arifian
Chapter #14

PENYIDIKAN

Surat panggilan dari kepolisian telah datang sebanyak dua kali ke rumah Ulfat. Surat pertama diterima oleh Ulfat. Tangannya gemetar saat membaca surat yang menyatakan dirinya adalah tersangka kasus penganiayaan berat yang harus menjalani proses penyidikan. Saksi mata yang melihat kejadian malam itu, pasti sudah memberikan kesaksian pada polisi sesuai skenario Samuel—yakni mengarahkan Ulfat sebagai tersangkanya. Maka surat panggilan itu akhirnya datang pada Ulfat. Untung saja, saat itu sedang tidak ada orang lain di rumah. Ulfat segera menyembunyikan surat itu dan mengabaikan panggilan dari polisi. Surat kedua, hampir saja dibaca oleh Rohana. Saat tukang pos datang, Ulfi yang sedang berada di halaman depan menerima surat itu. Rohana hendak mengambilnya dari tangan Ulfi, tapi Ulfat bergegas dan berlari mendahului Rohana.

“Surat apa itu?” Rohana penasaran. “Kamu sampai terburu-buru begitu. Surat cinta, ya?”

Ulfat gelagapan. “Ya... gitu, deh, Bu.”

“Memangnya hari gini masih zaman kirim-kiriman surat cinta? Chatting-an, kan, lebih praktis.”

Ulfat segera menyembunyikan surat itu di belakang tubuhnya. “Ibu tahu sahabat pena, kan? Memang harus pakai surat buat saling kenal.”

“Ya, sudah terserah. Sana cepet baca suratnya!”

Ulfat bergegas masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Ia sembunyikan surat panggilan kedua itu dalam laci paling dalam, di bawah tumpukan barang-barang lain. Kegamangan yang melanda diri Ulfat, membuatnya tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya, polisi tak punya pilihan, selain menjemput Ulfat secara langsung untuk panggilan berikutnya.

Keputusan Ulfat yang menyembunyikan dua surat panggilan polisi, membuat semua orang histeris saat penangkapan itu terjadi. Situasi yang menggambarkan bahwa Ulfat adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan serius. Kini, Ulfat duduk di hadapan polisi untuk diinterogasi. Sebelum itu, Samuel telah menunjuk seorang pengacara untuk mendampingi Ulfat menjalani setiap proses hukum. Samuel memilih pengacara terbaik yang akan membantu Ulfat mendapatkan hukuman minimal. Itu adalah salah satu kompensasi yang diberikan Samuel sebagai imbalan dari persetujuan Ulfat pada kesepakatan mereka.

Saat Samuel mendengar kabar bahwa Ulfat telah dipanggil pihak kepolisian, ia segera menugaskan Elvira, pengacara perempuan berusia empat puluh tahun yang dikenal Samuel melalui relasinya. Sebelum interogasi dimulai Elvira memperkenalkan diri pada Ulfat.

“Kamu punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan dari polisi,” bisik Elvira.

Kebohongan harus dirancang sebaik mungkin agar tampak masuk akal, hingga tak ada celah bagi kebenarannya untuk terungkap. Ulfat yang kebingungan, belum sempat merancang kronologi atau motif yang mendukung statusnya sebagai tersangka. Karena itu, Ulfat mengikuti saran sang pengacara untuk melakukan hak diam. Ulfat menolak untuk menjawab pertanyaan polisi.

Penetapan status Ulfat sebagai tersangka berdasarkan tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi mata, keterangan saksi ahli, yaitu dokter yang menyatakan bahwa cedera Algis disebabkan oleh penganiayaan berat, dan juga bukti keberadaan Ulfat di lokasi—melalui rekaman panggilan layanan ambulans dari nomor ponselnya. Ketiga bukti itu memang menyudutkan Ulfat, tapi sikap diam Ulfat telah menghambat kelancaran proses penyidikan lebih lanjut. Penyidik tak bisa menemukan motif penganiayaan yang dilakukan Ulfat pada Algis, yang bahkan tak saling mengenal. Setelah waktu interogasi lewat, Ulfat pun kembali ke rumah karena permintaan penangguhan penahanan disetujui oleh penyidik.

***

Ardy rajin menyambangi kantor polisi untuk mengetahui perkembangan kasus penganiayaan adiknya. Ardy sering bertemu dengan Ipda Erwan, baik di dalam maupun di luar kantor polisi. Keduanya bak teman karib yang sudah lama saling mengenal. Saat akhirnya tersangka ditetapkan, Ipda Erwan segera memberikan kabar itu pada Ardy.

Ardy tampak begitu emosional. Kedua tangannya mengepal, napasnya terdengar tak beraturan, mulutnya mengatup menahan marah. Ipda Erwan berusaha menenangkan Ardy dengan memintanya mengatur napas dan minum air putih.

“Tenang dulu! Bukti memang mengarah pada anak itu, tapi kami juga merasa ada beberapa kejanggalan. Bisa jadi, bukan anak itu pelakunya.”

“Kejanggalan apa?” Setelah menenggak setengah botol air mineral, Ardy tampak mulai tenang kembali.

“Pertama, tidak ada motif dari tersangka untuk melakukan penganiayaan itu. Tersangka memilih hak diam, jadi tidak ada pengakuan apakah dia memang melakukan penganiayaan itu atau tidak. Mereka bahkan tidak saling kenal, jadi apa motifnya.

Kedua, di rekaman panggilan darurat ambulans, dia terdengar ketakutan dan panik. Sedangkan, jika kita melihat cedera yang dialami Algis, mengindikasikan bahwa pelaku punya kecenderungan sosiopat, yang tega memukuli orang lain dengan brutal. Bukan tipikal orang yang akan menyesali perbuatannya dan memanggil ambulans dengan nada suara penuh kepanikan seperti itu.”

“Kalau dia memang bukan pelakunya, mungkin saja dia sedang melindungi pelaku sebenarnya.”

“Bisa jadi.”

“Saya harus temui anak itu,” kata Ardy, seraya beranjak dari tempat duduknya.

Ipda Erwan memegangi lengan Ardy. “Tunggu! Pak Ardy nggak akan membahayakan anak itu, kan?”

“Pak Erwan tenang saja! Meskipun saya emosional, saya tetap taat hukum. Saya ingin menghukum pelakunya dengan adil. Lagipula, masih belum pasti kalau anak itu pelakunya, kan.”

Lihat selengkapnya