Ardy melewati gang-gang sempit perumahan padat penduduk. Sepanjang jalan, ia seringkali harus menempelkan punggungnya ke tembok karena berpapasan dengan sepeda motor yang cukup sering melintas. Aroma sampah yang berserakan di sepanjang gang, membuat Ardy harus menutup hidung rapat-rapat. Cukup jauh jarak antara tempat Ardy memarkir mobil dengan lokasi yang dituju, yakni rumah Raden. Dari Ipda Erwan, Ardy mendapatkan informasi mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Algis, termasuk alamat rumah Raden. Ardy sengaja datang saat hari mulai gelap. Karena saat itu, kemungkinan Raden sedang berada di rumah lebih besar dibandingkan saat siang hari.
Setelah berjalan beberapa ratus meter, Ardy sampai di sebuah kontrakan sederhana yang catnya tampak mengelupas di sana-sini. Ardy mengetuk pintu beberapa kali, lalu pintu itu terbuka sedikit dan sebuah suara terdengar tanpa terlihat wujudnya. “Siapa?”
“Apa kamu Raden? Saya Ardy, kakaknya Algis. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu.”
Raden akhirnya membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Ardy masuk. Suharti pun keluar dari kamarnya dan ikut serta dalam perbincangan. Ketiganya duduk melingkar di atas tikar tipis yang warnanya mulai pudar.
“Kamu bersaksi kalau pelaku penganiayaan adalah anak yang berambut ikal, kan. Tapi, itu bukan kebenarannya. Apa kamu dapat ancaman untuk berbohong?”
Raden tertunduk sembari melihat kedua tangannya yang gemetar. “Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat.”
“Maafkan kami, Nak Ardy,” ucap Suharti dengan mata berkaca-kaca.
Ardy meraih tangan Raden. “Raden, apa kamu mau menengok Algis di rumah sakit?”
Walaupun sempat ragu, Raden akhirnya mengikuti ajakan Ardy untuk menemui Algis. Sepanjang perjalanan hingga menyusuri lorong rumah sakit, Ardy tak hentinya menceritakan tentang Algis pada Raden. Memuji sang adik sebagai anak yang baik dan ceria, yang meskipun banyak bicara tapi kemampuannya dalam matematika di atas rata-rata orang biasa. “Dia genius matematika, dan matematika adalah dunianya. Tapi... karena otaknya mengalami cedera parah, Algis mungkin saja akan kehilangan dunianya itu.”
Keduanya sampai di ruang perawatan Algis. Arini yang sedang berdiri di samping ranjang sang putra, menyingkir sejenak untuk memberi ruang pada Raden. Raden menampakkan raut kesedihan mendalam saat melihat kondisi Algis yang terbaring lemah. Hingga tanpa sadar, air mata menetes di pipi Raden. Raden yang pantang menangis, justru mengeluarkan air mata di situasi tak terduga, yakni saat melihat kemalangan orang lain.
“Apa Algis bisa sadar kembali?” tanya Raden.
“Tentu saja itu yang selalu kami harapkan sepanjang waktu. Tapi dokter pun tidak bisa menjamin itu. Algis bisa saja sadar kembali dengan kemungkinan memorinya hilang, atau kehilangan kemampuan motoriknya, dan kondisi otak yang tidak akan sama seperti sebelumnya,” ungkap Ardy. “Sekarang kamu tahu, kan, betapa biadabnya perbuatan si pelaku pada Algis.”
“Kamu teman Algis?” tanya Arini pada Raden.
Raden hendak menjawab, tapi Ardy menyela. “Iya, Bu. Dia Raden, teman baik Algis.”
“Kok, Ibu belum pernah ketemu.”
“Kami memang baru-baru ini berteman,” jawab Raden.
“Oh, gitu. Kamu satu sekolah dengan Algis?”
“Enggak, Bu. Kita pernah ketemu di luar sekolah. Kita bisa berteman karena Algis anak yang ramah.”
Arini menatap Raden dan berkata, “Terima kasih karena sudah jadi teman Algis.”
Raden kembali melihat Algis dan teringat kejadian nahas di malam kejadian. Ingatan yang semakin terasa nyata, sebab sang korban sedang berada di hadapannya. Tangan Raden mulai gemetar. Ardy segera menarik Raden dan mengajaknya ke tempat lain. Sebelum mengajukan bermacam-macam pertanyaan, Ardy mengajak Raden untuk makan di sebuah restoran di seberang jalan.
“Raden, apa yang sebenarnya kamu lihat malam itu?” Ardy bertanya setelah memastikan piring dan gelas Raden sudah kosong.
“Malam itu, bukan hanya ada anak lelaki berambut ikal yang bernama Ulfat. Tapi, ada dua orang lainnya di sana. Seorang lelaki muda dan seorang perempuan yang kelihatannya masih remaja. Lelaki muda itu yang memukuli Algis, bukan Ulfat.”
“Terus... kenapa kamu berbohong pada polisi?”
“Ayah dari pelaku menawarkan uang yang sangat besar. Tapi... meskipun itu adalah uang yang bisa mengubah hidup keluarga saya, hati nurani saya terus menolak. Saya hendak mengembalikan uang muka yang sudah diberikan, tapi uang itu dicuri oleh bapak. Uang itu pasti sudah habis dipakai berjudi, jadi saya nggak punya pilihan selain mengikuti kesepakatan. Maafkan saya, Kak.”
“Kamu nggak tahu nama si pelaku?”
“Tidak, Kak. Ayah pelaku tidak pernah menyebutkan nama selain Ulfat.”
“Kalau nama ayah pelaku?”