Di dalam mobil sedan usang itu hanya ada keheningan. Dulu, selalu ada perbincangan hangat layaknya sebuah keluarga yang memiliki hubungan erat. Saling bercanda dan bertukar cerita, maupun memecahkan berbagai masalah bersama-sama. Meskipun hawa terasa panas karena pendingin udara di dalam mobil seringkali rusak, tapi mereka betah duduk berlama-lama di sana agar bisa berinteraksi. Namun, kini atmosfer di dalam mobil sedan usang itu telah berubah. Seiring berjalannya waktu, setiap orang sibuk dengan gejolak batin yang berdialog sendiri.
Seharusnya dulu biarkan saja aku tidak punya anak. Sepertinya itu lebih baik. Aku merasa telah menjadi orang jahat sejak membesarkan anakku dengan cara yang salah. Ya, semuanya memang salahku. Aku sudah berbuat banyak dosa, batin Nia meronta-ronta.
Aku kepala rumah tangga yang gagal membimbing keluargaku. Aku tidak berguna. Aku pantas menerima semua ini. Rasanya, kehancuran itu hanya tinggal menuggu waktu. Ferdi menangis dalam diam.
Selama tidak ada bukti, aku pasti aman. Lagipula, Kak Khavin pasti akan melindungiku. Dengan uangnya, Kak Khavin pasti bisa menutupi semuanya. Talia berbicara dengan dirinya sendiri.
“Pa, Ma, tinggal beberapa bulan lagi aku berangkat ke Bulgaria untuk festival tari. Aku nggak mau sampai batal berangkat,” ucap Talia memecah keheningan.
“Iya. Papa pastikan kamu berangkat ke sana.” Ferdi mengatakannya tanpa berani menatap wajah sang putri.
“Pokoknya harus, ya! Kalian, kan, tahu gimana kerja keras aku untuk jadi wakil di festival itu.”
“Kalau memang sepenting itu, lalu kenapa kamu buat masalah sebesar itu?” tanya Nia. Ia mengepalkan tangan di samping tubuhnya.
“Bukan aku, Ma. Aku cuma ada di sana, tapi aku nggak melakukan apa pun.”
Nia menatap mata Talia dan tiba-tiba merasa gamang. Rasa takut yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, seringkali Nia rasakan akhir-akhir ini. Nia dan Ferdi mulai tak kuasa menerima polah sang putri yang semakin di luar kendali. Meskipun keduanya pernah berikrar untuk rela melakukan apa pun, bahkan menjual jiwa demi Talia, tapi akibat yang harus mereka tanggung ternyata terlalu berat. Nia bahkan mulai mendatangi psikiater karena mengalami insomnia parah. Nia seringkali tak tidur berhari-hari karena memikirkan perilaku Talia.
“Pa, apa kita katakan yang sebenarnya saja pada polisi, kalau saat itu Talia tidak berada di rumah.” Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Nia saat ia tak kunjung tertidur.
“Ma, jangan ngawur! Kamu mau anak kita masuk penjara?”
“Ya, nggak mau. Tapi mama udah nggak tahan lagi sama kelakuan Talia. Mama bingung harus gimana,” keluh Nia, sembari memijit-mijit kening karena rasa pening yang menyiksa.
“Papa juga bingung, Ma. Kita sudah salah cara mendidik dia. Kita salah karena selalu melindungi dia setiap kali melakukan kesalahan, termasuk sekarang.”
“Aku bisa gila kalau begini terus!” ucap Nia. Hampir saja ia mengutarakan kalimat itu dengan lantang.
Ferdi mengusap-usap punggung sang istri. Nia akhirnya tak kuasa untuk menahan air mata. Ia menangis sepanjang malam. Sementara itu, Ferdi hanya terdiam, duduk di atas ranjang semalaman—tanpa bisa tidur.