Seorang lelaki paruh baya bertubuh tinggi besar dan berperut buncit, datang dengan pakaian santai—kaos polo dan celana bergo pendek. Namun, ia pastilah seorang kaya raya, sebab pakaiannya merupakan merek dengan pangsa pasar menengah ke atas. Selain itu, perhiasan emas tampak menghiasi jemari, tangan dan lehernya. Dengan sikap mendominasi, ia duduk berhadapan dengan Marina.
“Pak Andro, perkenalkan saya Marina. Saya komisaris di sini.”
“Jadi, anda istri Pak Samuel?”
“Betul, Pak.”
Keduanya tengah menjalin kesepakatan sebagai pihak konsultan dan klien. Andro yang merupakan pemilik perusahaan tekstil yang cukup besar, tengah menghadapi pemeriksaan terkait masalah perpajakan perusahaannya. Ada indikasi bahwa perusahaannya membuat transaksi fiktif demi mengurangi pembayaran pajak. Perusahaannya juga memiliki masalah dengan pembukuan yang kacau, hingga terus jadi incaran Ditjen Pajak. Dana puluhan miliar terus terkuras dari kantung perusahaan untuk membayar denda. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Samuel yang menawarinya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan.
Sementara itu, Marina punya banyak cabang usaha yang salah satunya adalah konsultan pajak. Di atas kertas, Marina memang pemiliknya, tapi Samuel-lah pemilik sebenarnya dari semua perusahaan yang dijalankan Marina. Melalui perusahaan konsultan pajak itulah, Samuel mengeruk banyak keuntungan. Sebagai pemegang jabatan tinggi di Ditjen Pajak, Samuel tentu punya kuasa untuk menangani masalah perpajakan perusahaan, serta mengetahui situasi keuangan mereka. Melalui perusahaan konsultan pajak yang dijalankan Marina, Samuel merekrut calon klien potensial. Menawarkan bantuan untuk mengatur pembukuan agar setiap kecurangan tak bisa dilacak. Lalu, sebagai imbalannya, Samuel mendapatkan honor yang besar atas jasanya.
“Jika bergabung dengan kami, saya pastikan perusahaan Pak Andro tidak akan dapat masalah lagi dengan perpajakan.”
“Tentu saja. Dengan senang hati, saya akan bergabung dengan anda.”
Konsultan pajak yang dijalankan Marina memang merupakan ladang basah yang menjadi sumber keuangan Samuel, tapi itu bukanlah satu-satunya. Samuel juga punya sebuah galeri seni yang menjadi tempat sempurna untuk melakukan pencucian uang. Melalui lelang lukisan, Samuel membuat uang-uang kotornya menjadi bersih. Sebuah lukisan yang tidak memiliki standar harga pasar, membuat nilainya bisa dimanipulasi sesuka hati.
Alasan Samuel menyukai Ulfat adalah karena lukisan karyanya yang bernilai seni tinggi. Samuel koleksi karya-karya Ulfat bukan hanya untuk memperindah dinding rumah, tapi juga sebagai alat untuk mencuci uang di galeri seni miliknya. Uang hasil suap dan gratifikasi, bisa dengan mudah berubah menjadi penghasilan halal dari jual beli lukisan. Banyak perusahaan yang berkepentingan dengan jabatan Samuel, menggunakan cara itu untuk menjalin kesepakatan.
Samuel pun punya cara lihai untuk menabung aset. Ia manipulasi nilai tanah atau bangunan yang dibeli, hingga lebih rendah daripada harga sebenarnya. Ia juga menggunakan nama anggota keluarga, bahkan saudara jauh, ataupun sekedar seorang kenalan, untuk bertransaksi jual beli. Hingga aset yang dimilikinya tidak terlacak oleh sistem perpajakan. Aset yang dimiliki Samuel dan keluarganya, jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan ke Ditjen Pajak.
Semua cara itu, telah membuat Samuel dan keluarganya hidup bergelimang harta. Perusahaannya kian menggurita dan asetnya kian menumpuk. Padahal, sebelum menikah dengan Marina, Samuel hanya seorang pegawai pajak biasa. Ia hidup berkecukupan berkat gajinya sebagai pegawai pemerintah. Namun, ambisinya mulai tumbuh tak terkendali saat jabatannya di Ditjen Pajak semakin tinggi. Ia menemukan peluang demi peluang untuk bisa memenuhi impian masa kecil, yakni menjadi kaya raya. Kemiskinan yang pedih di masa muda, telah membuat Samuel ingin memanjat ke tempat paling tinggi melalui tahta dan harta. Ia pun telah berhasil menapaki tempat paling tinggi.
Namun, ia lupa bahwa proses dan cara mencapai tempat tertinggi itu, jauh lebih penting daripada tujuan akhirnya. Jika cara yang ditempuh adalah jalan yang buruk, maka ia akan menciptakan bom waktu yang bisa meledak kapan pun. Kini, detik demi detik sedang berjalan di atas bom waktu itu. Siap meledak dan menghancurkan semua yang ada dalam genggaman Samuel. Tempat tertinggi itu akan hancur dan jatuh hingga ke dasar terendah.
“Pa, aku bisa kena imbasnya kalau Khavin sampai masuk penjara. Orang-orang akan menghina aku, dan bisa-bisa aku diturunkan jabatan, bahkan dipecat.” Stevie panik, saat akhirnya mengetahui sang adik berstatus sebagai tersangka penganiayaan berat.
“Nggak mungkin. Apa yang dilakukan Khavin nggak ada hubungannya dengan kamu. Jadi mana mungkin sampai begitu.” Samuel berusaha menenangkan anak sulungnya itu.
“Tapi, Pa. Kalaupun aku nggak dipecat, aku tetap harus menghadapi hinaan orang-orang seumur hidupku. Aku nggak akan bisa lagi hidup tenang.”
“Iya, Pa. Aku rasa, perusahaan kita juga akan kena dampaknya. Kalau reputasi kita hancur, orang-orang akan hilang kepercayaan. Masalah akan terus membesar.” Jonathan ikut mengeluhkan nasib mereka.
Marina menangkupkan kedua tangan ke wajah sebagai upaya untuk menahan tangis. “Kasus ini akan menyita perhatian publik. Bagaimana kalau itu membuat perbuatan buruk kita ikut terekspos. Keluarga kita akan hancur.”
Samuel mendengus. “Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian berpikir terlalu jauh. Semua yang kalian takutkan nggak akan terjadi. Khavin mungkin akan dipenjara, tapi cukup dia saja yang menanggung perbuatan buruknya. Kita akan baik-baik saja.”
Khavin yang sejak tadi menguping pembicaraan keluarganya, menyeringai dan berjalan mendekati mereka. “Ya, dari dulu aku memang orang buangan di rumah ini. Jadi, kalau aku dipenjara kalian santai-santai saja, kan. Tapi... kalian tahu nggak, alasan aku sering membuat masalah?” tanya Khavin dengan nada ejekan yang mengganggu di telinga. “Karena aku ingin keluarga ini ikut hancur. Jadi aku pastikan, kalian akan terkena dampaknya.”
Samuel muntab. Ia layangkan pukulan demi pukulan ke tubuh Khavin. Namun, kali ini tak ada yang menghentikan Samuel seperti biasanya. Stevie dan Jonathan hanya menatap penuh amarah, dan Marina menangis. Khavin menangkis pukulan Samuel, lalu menghujam batinnya dengan tatapan tajam penuh amarah. Untuk pertama kalinya, Samuel bergidik saat menatap ke dalam mata sang putra.