Cahaya kehidupan itu mulai bersinar kembali. Algis sudah bisa menggerakkan tubuhnya dan berbicara beberapa kalimat, walaupun belum terlalu jelas. Algis mulai bisa diajak berkomunikasi, tapi masih lambat dalam mencerna pertanyaan. Ia mengenali Arini, Budi dan Ardy, tapi saat ditanya mengenai apa yang terjadi sebelum ia berada di rumah sakit, Algis sama sekali tak bisa menjawab. Ia tak mengingat apa pun, termasuk memori beberapa tahun ke belakang. Ingatan Algis samar-samar tentang masa sebelum masuk SMA. Ia mengingat beberapa teman masa SMP dan beberapa kejadian yang menyertainya. Misalnya saja, masa-masa bermain yang menyenangkan dengan para sahabat karib. Dengan terbata-bata, kadang Algis mampu bercerita sedikit tentang itu.
Cahaya kehidupan bagi keluarga Algis, nyatanya masih redup. Beberapa hari setelah siuman, Algis mulai mencoba turun dari ranjang. namun, otot-otonya terlalu lemah, hingga ia terus hilang keseimbangan dan terjatuh. Algis selalu gagal untuk menegakkan tubuhnya. Menurut dokter, korban cedera otak traumatis memang seringkali bermasalah dengan keseimbangan. Penyebanya adalah kerusakan di otak kecil yang berperan dalam keseimbangan tubuh. Selain menjaga keseimbangan, ternyata Algis pun kesulitan berjalan karena kerusakan motorik yang mengatur gerakan ototnya.
Bermacam-macam terapi harus Algis jalani. Mulai dari terapi psikologis untuk mengatur emosi, terapi wicara untuk komunikasi, penyesuaian aktifitas sehari-hari, dan terapi fisik untuk membantu Algis berjalan kembali. Salah satu akibat dari cedera otak, telah membuat Algis seringkali tak bisa mengatur emosi. Saat merasa frustasi, Algis bisa mengamuk sejadi-jadinya. Misalnya saja, saat gagal menyeimbangkan tubuh dan terus terjatuh, Algis akan menangis histeris dan memukuli dirinya sendiri. Jika sudah begitu, Arini akan menahan air mata dan memeluk Algis dengan erat. Saat tak berada dalam pandangan Algis, barulah Arini menumpahkan air matanya yang tertahan. Hatinya begitu terluka melihat penderitaan sang putra.
“Ibu tidak perlu khawatir, saya yakin seiring berjalannya waktu kondisi Algis bisa terus membaik. Dia bisa mengenali orang-orang di sekitarnya dalam beberapa hari saja, itu sudah pertanda baik. Memorinya akan kembali sedikit demi sedikit. Setelah menjalani terapi, perkembangan Algis juga tergolong cepat. Ini adalah keajaiban, Bu. Yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar,” terang dokter Jeremy. Ia adalah dokter spesialis saraf yang merawat Algis sejak awal.
Karena seringkali melihat anggota keluarga Algis—terutama Arini—menangis, dokter Jeremy sering datang, meskipun hanya sekedar memberikan kata-kata penghiburan. Ia selalu meyakinkan mereka bahwa kondisi Algis pasti akan membaik seiring berjalannya waktu. Dokter Jeremy yakin, sebab sejak awal merawat Algis, ia sudah melihat keajaiban. Kondisi Algis di awal kejadian sangat parah, hingga kemungkinan Algis untuk meninggal sangat besar. Namun, ternyata Algis bisa bertahan hidup, karena ia merespons obat-obatan yang diberikan.
“Terima kasih, Dok. Saya jadi lebih tenang. Tapi, kalau soal ingatan Algis, saya khawatir dia trauma kalau ingat kejadian itu. Tapi... saya juga ingin Algis mengingat masa-masa SMA-nya yang bahagia. Itu kenangan berharga untuknya.”
“Bisa jadi Algis trauma, tapi kalau kita beri dia dukungan dan bantuan, saya yakin mental dia bisa lebih kuat dan traumanya juga bisa sembuh seperti fisiknya.”
“Iya, Dok. Algis memang anak yang kuat.”
“Kalau gitu, mari kita berjuang bersama-sama untuk kesembuhan Algis!”
Di saat sedang berdua saja dengan Algis, Arini selalu mengajak sang putra berdialog secara intens tentang banyak hal. Meskipun respons jawaban dari Algis sangat minim, tapi itu adalah salah satu cara untuk membantu pemulihan Algis. Berinteraksi dan berdialog akan merangsang sel-sel di otak Algis untuk aktif kembali.
“Nak, walaupun kamu nggak bisa jadi genius matematika lagi, asalkan kamu bisa kembali menjalani hidup normal, ibu akan sangat bahagia dan bersyukur. Nggak perlu jadi genius di bidang tertentu untuk hidup dengan baik. Kamu juga nggak perlu jadi orang sukses untuk menjalani hidup yang bahagia. Karena selama kamu jadi orang baik, itu sudah cukup.”
Algis mengangguk setuju, lalu menyunggingkan senyuman termanis untuk sang ibu. Arini memeluk erat sang putra dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Biasanya Algis hanya diam saat dipeluk, tapi kali ini, ia merespons dengan membalas pelukan sang ibu. Arini menangis haru.