Lukisan dengan tanda tangan Ulfat memenuhi dinding sebuah galeri seni ternama di Jakarta. Orang-orang yang menyukai lukisan, datang berbondong-bondong ke galeri untuk memanjakan mata mereka. Para kolektor pun berebut karya terbaik Ulfat untuk dibawa pulang. Bakat Ulfat telah ditemukan oleh seorang pengusaha sukses yang kini menjadi sponsornya. Ulfat diberi fasilitas khusus untuk mengadakan pameran di galeri seni milik sang pengusaha.
Dani, Rohana dan Ulfi datang ke pameran dengan memakai pakaian terbaik mereka. Senyum semringah tampak dari ketiganya. Mereka bangga pada Ulfat yang telah melalui sebuah badai besar dan bisa bangkit kembali. Ulfat telah membuat pilihan yang tepat dalam hidupnya.
“Nak, Bapak bangga sama kamu,” ucap Dani.
“Ibu juga bangga. Tetap rendah hati supaya kamu tetap sukses!”
“Makasih, Pak, Bu. Ini semua berkat dukungan kalian juga.”
“Kalau aku?” tanya Ulfi polos.
“Makasih juga untuk kamu, Ulfi yang baik.”
Setelah Samuel masuk penjara dan tak lagi punya kuasa, Dani bisa kembali bekerja. Dani dan Ulfat saling bahu-membahu menopang hidup keluarga. Rumah mereka yang berlubang di sana-sini, sudah diperbaiki dan menjadi lebih nyaman untuk ditinggali. Ulfat tak perlu lagi mengkhawatirkan masa depan, karena ia bisa menabung untuk pendidikannya kelak.
Ulfat bersyukur karena hidupnya kini jauh lebih baik. Ia bahagia, tapi ada sedikit rasa hampa yang menyelubungi jiwanya. Kehampaan karena telah kehilangan seorang sahabat karib. Seseorang yang senantiasa memuji lukisannya, mengenalkannya pada dunia dan berbagai pengalaman hidup yang baru, juga sahabat yang saling mendukung. Sampai kapan pun, penyesalan itu tak akan pernah hilang. Ulfat terus menyesali pilihan yang Khavin buat dalam hidupnya. Pilihan yang telah menghancurkan hidup dan mimpi-mimpinya. Ulfat merindukan masa-masa kebersamaan mereka.
Setelah satu tahun berlalu, Ulfat memberanikan diri untuk mengunjungi Khavin di penjara. Meskipun tak bisa menghabiskan waktu bersama seperti dulu, setidaknya Ulfat ingin berbincang lagi dengan kakak angkatnya itu. Namun, Khavin beberapa kali menolak kunjungan Ulfat. Ulfat tak menyerah dan terus datang berkunjung. Hingga akhirnya, Khavin-lah yang menyerah.
“Apa kabar, Kak?” Ulfat memulai perbincangan.
“Menurut kamu, apa aku terlihat baik-baik saja?”
“Kakak kelihatan sehat,” ucap Ulfat lirih. “Kak, mulai sekarang jangan menolak kunjunganku lagi. Aku memang nggak bisa menolong Kakak, tapi setidaknya, aku ingin jadi teman berbincang Kakak.”
“Tapi... nggak ada yang bisa aku ceritakan tentang kehidupan di penjara. Sama sekali nggak menarik.”
“Kalau begitu, cukup duduk berhadapan seperti sekarang. Aku hanya ingin Kakak tahu, kalau Kakak nggak sendirian.”
Khavin tersenyum. “Kalau gitu, aku bisa jadi pendengar. Kamu boleh ceritakan apa pun.”
Ulfat pun menceritakan semua hal yang terjadi padanya belakangan ini. Mengenai pameran lukisan pertamanya yang begitu berkesan. Tentang lukisannya yang masuk ke sesi lelang. Tentang persiapan ujian kenaikan kelas yang sebentar lagi akan Ulfat hadapi untuk jadi siswa senior. Lalu, tentang ibunya yang kini sudah berubah menjadi ibu yang penuh kasih sayang.
“Maaf, Kak. Aku malah menceritakan kebahagiaanku di depan Kakak.”