TARUK

Ratna Arifian
Chapter #22

IMPIAN

Selama berjam-jam lamanya, Algis duduk diam sambil melihat kertas-kertas berisi soal matematika. Algis meraih pensil dan mencoba untuk mengerjakan soal-soal itu. Namun, otaknya tak mampu mencerna satu pun angka dan simbol yang dilihatnya. Padahal, dulu Algis bisa menjawab dengan mudah, seolah-olah jarinya bisa bergerak sendiri. Algis pun menangis, ia corat-coret kertas soal itu sampai berlubang. Algis hempaskan semua benda yang ada di atas meja sampai berhamburan di lantai. Algis histeris dan hampir saja melemparkan kursi ke atas meja. Namun, Budi segera masuk ke dalam kamar Algis dan menahan tubuhnya. Budi berusaha menenangkan sang putra dengan terus memeluk erat tubuhnya. Sementara itu, Arini hanya bisa menangis tanpa suara dari balik pintu.

Algis mengulang kelas untuk mengejar ketertinggalannya. Di sekolah, Algis pun mengalami kesulitan. Ia merasa telah menjadi penghambat bagi teman-temannya yang lain. Perhatian guru menjadi lebih tertuju pada Algis, hingga membuat yang lain harus belajar sendiri. Algis merasa bersalah karenanya. Saat ada tugas kelompok, Algis memilih untuk tidak ikut serta. Ia merasa keberadaannya hanya akan sia-sia dan malah menyulitkan yang lain. Teman-teman Algis prihatin dan menatap Algis dengan cara yang berbeda. Bukan kekaguman pada si genius matematika, melainkan tatapan kasihan karena si genius matematika telah menjadi bodoh.

Algis yang dulu ceria dan banyak bicara. Punya banyak teman karena ramah dan mudah akrab, kini menjadi pendiam dan pemurung. Tatapan kasihan yang Algis terima dari teman-teman sekolah, membuatnya semakin terpuruk. Algis berpikir untuk berhenti sekolah dan hanya berdiam diri di rumah. Algis ingin mengasingkan diri.

Setiap malam, tubuh Algis tampak basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal dan mulutnya mengeluarkan suara rintihan pelan. Jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya mengepal. Algis tercekat dan seketika terbangun dari mimpi buruknya. Meskipun sudah setahun lebih kejadian buruk yang menimpanya berlalu, Algis masih merasakan trauma. Sesekali ia bermimpi buruk dan terjebak dalam rasa takutnya. Algis harus mendatangi psikiater secara rutin untuk mengatasi traumanya itu. Ia juga masih menjalani serangkaian terapi untuk memulihkan kondisi fisiknya.

Algis merasa frustasi dengan kondisinya. Ia jadi sering mengamuk dan menangis histeris saat tak bisa menjawab soal matematika. Atau, saat ingatan buruknya datang menghantui. Namun, kesabaran dan dukungan dari kedua orangtua dan sang kakak, membuat Algis terus berjuang untuk bangkit kembali.

Selain keluarga, dukungan untuk Algis juga datang dari para guru dan teman-teman sekolah. Seiring berjalannya waktu, mereka tak lagi melihat Algis dengan tatapan kasihan. Seperti dulu, saat mereka mengagumi Algis sebagai genius matematika, kini mereka kagum pada perjuangan Algis untuk bangkit dari keterpurukan. Teman-teman Algis selalu mengulurkan tangan jika Algis butuh bantuan. Mereka dengan sukarela mengajari Algis agar bisa mengikuti pelajaran. Mereka pun selalu menemani Algis agar tak pernah merasa kesepian. Mereka selalu berkerumun jika jam istirahat tiba. Saat datang atau pulang sekolah, mereka tak pernah lupa menyapa Algis. Algis bak seorang selebriti di seantero sekolah.

Untuk membantu kesembuhan Algis, Ardy pun kini menetap. Ia kembali tinggal bersama keluarga dan tak lagi hidup nomaden. Setiap akhir pekan, mereka selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul. Kegiatan favorit keluarga Algis adalah piknik di taman sembari membawa bekal makanan dari rumah. Itu adalah waktu yang mereka gunakan untuk berbincang, bertukar pikiran, dan menceritakan keluh kesah. Salah satu cara agar Algis bisa pulih kembali.

“Kalau nanti aku menikah, aku lebih baik tinggal terpisah atau tinggal dengan kalian?” tanya Ardy tiba-tiba.

“Memangnya udah punya calon?” tanya Arini.

“Kayanya ada.”

“Kok, jawabnya nggak yakin gitu?” Budi mendelik.

“Kalau ada, pasti secepatnya aku kenalin.”

“Kak Ardy. Kakak jangan pindah, tinggal sama kita aja terus!”

Lihat selengkapnya