KHAVIN
Udara bebas terasa begitu ringan. Mengalir ke seluruh tubuh hingga seakan-akan hendak terbang menyentuh awan. Sinar matahari yang terik, hanya terasa lembut menghangatkan kulit. Hamparan tanah yang kering berdebu, menjelma permadani lembut yang begitu nyaman dipijak. Semua hal biasa itu, menjadi istimewa bagi mereka yang telah lama tak bisa menikmatinya.
Seperti Khavin, yang hari itu bebas dari penjara. Cukup lama ia diam mematung di luar gerbang penjara untuk menikmati udara, sinar matahari dan tanah yang dipijak di hari kebebasannya. Khavin merasa seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Khavin yang lama telah mati, dan Khavin baru telah terlahir kembali.
Sebuah mobil sedan berhenti di depan Khavin. Lalu, si pengemudi keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa. Rambut ikal yang ditutupi topi beret hitam, muncul dari balik kemudi. Ulfat yang berjanji untuk menjemput Khavin di hari kebebasannya, hampir saja terlambat memenuhi janji.
“Maaf Kak, aku terlambat. Tadi aku antar anakku dulu ke sekolah. Jalanannya lumayan macet juga.”
“Nggak masalah. Kamu berencana datang saja, aku berterima kasih.”
“Hmm... Kak Khavin, kok, jadi bijak sekali. Aneh!” ucap Ulfat dengan memicingkan mata.
Khavin merangkul pundak Ulfat. “Karena... hari ini aku terlahir kembali.”
“Selamat terlahir kembali, Kak!”
Ingatan Khavin tiba-tiba saja menjelajah ke satu tahun silam, saat dirinya menghirup udara bebas lagi. Kini, di depan Khavin tampak kolam renang dengan air berwarna biru yang berkilauan. Khavin sedang mengamati para calon atlet yang akan mengikuti turnamen pertama mereka. Sebagai asisten pelatih, Khavin bertugas untuk mengatur pelaksanaan latihan berjalan teratur dan aman, membantu menyiapkan segala fasilitas dan peralatan bagi para atlet, serta ikut mengamati perkembangan para atlet, termasuk stamina dan kesehatan mereka.
Dulu, pelatih renang Khavin begitu mengagumi kemampuan Khavin sebagai atlet. Hingga saat Khavin terkena kasus penganiayaan, sang pelatih sangat sedih dan kecewa. Namun, sang pelatih ingin memberi kesempatan pada Khavin untuk kembali ke dunianya. Meskipun bukan lagi sebagai atlet, tapi sebagai tim pelatih pun, Khavin sangat mampu untuk itu. Secara pribadi, sang pelatih pun merekrut Khavin untuk membantunya melatih para atlet muda.
Khavin merasa sungguh-sungguh telah terlahir kembali. Ia tak jadi penjahit, koki, ataupun pembuat perabot kayu seperti dugaannya. Namun, takdir telah membawa Khavin kembali ke dunianya dengan cara yang tak terduga. Khavin telah menghapus masa lalu, melupakan keluarga, dan telah menebus dosa-dosanya. Kini, Khavin sedang menata hidup terbaiknya.
TALIA
Talia menari tanpa iringan musik. Sekelilingnya tampak tak peduli. Ada yang menangis meraung-raung, ada yang tertawa cekikikan, adapula yang bersorak untuk Talia, tapi sembari melempar benda-benda kecil di sekelilingnya. Ada remasan kertas yang mendarat ke pipi Talia, lalu ada pula gumpalan nasi yang dilemparkan ke tubuh Talia hingga menempel di seluruh tubuh dan rambutnya. Meskipun diperlakukan seperti itu, Talia kadang tak peduli dan terus menari. Kadang kala, ia juga membalas dengan teriakan dan jambakan rambut bagi si pelaku.
Talia tak pernah menyelesaikan masa hukumannya di lapas, sebab mentalnya telah rusak akibat tak sanggup menahan kehinaan sebagai seorang pesakitan. Tak berapa lama kemudian, Talia dipindahkan ke fasilitas khusus kejiwaan. Namun, perawatan di tempat itu tak mampu mengembalikan kewarasan Talia. Hingga telah lewat bertahun-tahun masa hukuman pun, Talia tetap tak bisa kembali normal. Jiwa Talia telah rusak sepenuhnya.
Nia dan Ferdi yang sudah pasrah menerima kondisi sang putri, telah bisa melanjutkan hidup. Mereka secara bergantian mengunjungi Talia untuk memeriksa keadaannya. Mereka merasa bertanggung jawab pada semua yang terjadi, sebab merekalah yang melahirkan Talia dan membesarkannya dengan cara terbaik yang mereka yakini.
Nia mengusap-usap pelan kepala Talia. “Maafkan mama, Tal. Mama yang membuat kamu jadi seperti ini. Karena itu, mama janji akan bertanggung jawab seumur hidup mama untuk menebusnya. Mama akan rawat kamu dengan baik.”
Nia dan Ferdi berencana untuk merawat Talia di rumah, jika kondisinya membaik. Talia pun tampak senang mendengar rencana itu. “Aku bisa pulang ke rumah, Ma?”
“Iya, sayang. Kalau kamu janji untuk menurut, mama akan ajak kamu pulang ke rumah.”
“Iya, Ma. Mulai sekarang, Talia janji akan menurut.”
Beberapa hari kemudian, Talia dinyatakan cukup stabil untuk bisa pulang ke rumah. Talia menghampiri Nia dan Ferdi yang sudah menunggunya di luar. Talia tampak berjalan sambil menyeret sebelah kakinya yang tak bisa kembali normal. Hati Nia terasa pedih setiap kali melihat Talia berjalan. Nia berlari dan memeluk erat sang putri. Ia tak bisa berhenti menangis.