Musuh-musuh telah datang.
Dia sudah terbiasa dengan pertarungan tidak imbang. Bertarung seorang diri melawan puluhan hingga ratusan monster dan necrominion, dan keluar sebagai pemenang tunggal. Tetapi kali ini berbeda. Musuh-musuhnya adalah manusia jadi-jadian hasil eksperimen keji Deathligan. Tetapi justru hal itu yang membuatnya gentar dan ragu. Bukan, tentu saja bukan karena dia lemah. Berbekal pedang hitam Yomiarashi yang dia dapatkan dari perjalanannya ke ujung benua timur, dia menjadi lebih kuat dari sebelum-sebelumnya. Karena hal itulah, pertumpahan darah tidak akan bisa dihindarinya—pertumpahan darah manusia. Pertarungan ini akan menjadikannya seorang pembunuh.
Musuh-musuh telah datang.
Dia sudah terbiasa dengan pertarungan tidak imbang. Sebagaimana murid lain di negeri ini. Anak sekecil itu berkelahi bukan dengan waktu, melainkan dengan puluhan hingga ratusan soal pilihan ganda. Anak sekecil itu berkelahi dengan puluhan hingga ratusan soal, dan keluar sebagai orang teler pemenang. Kali ini tidak ada bedanya dengan pertarungan-pertarungannya yang lain. Dia harus bertarung, karena masa depannya bergantung pada momen-momen seperti ini. Adapun rasa lelah dan kantuk yang bertengger di bagian belakang kepalanya lantaran perdebatan malam kemarin perlu diabaikannya.
Maka, dia pun melesat dengan pedang hitamnya.
Dan dia pun terbangun dari mimpinya.
Lalu setelah terbangun dari sebuah mimpi aneh, dia bangun di hadapan Pak Munawir, pengawas undangan Ujian Nasional SMP Al Hikmah Kota Tangerang sebagai seekor Ungeziefer.
***
“Soalnya susah banget, anjir!”
“Gua mau ke Pelangi abis ini, lu pada mau ikut, kagak?”
“Tarung ketauan tidur, cok! Hahahaha!”
Pukul setengah dua belas. Dia berdiri di tengah kerumunan suara, dan menoleh ke arah salah satunya yang menyebut namanya. Itu adalah salah satu teman sekelasnya, Abuya Petrus Didi. Atau lebih tepatnya: salah satu orang di kelasnya. Dia tidak begitu memedulikan tentang teman, dan dia pun tidak mau ambil pusing menanggapi candaan kekanak-kanakan orang-orang di kelasnya, bahkan jika itu tentang dirinya sendiri.
Ada pertarungan besar yang perlu dihadapinya.
Satu batalion tentara Deathligan lagi-lagi berhasil dia selesaikan sendiri. Kekuatan kegelapannya cocok dengan kemampuan misterius Yomiarashi memanipulasi konsep abstrak. Dia bertanya-tanya: dengan kekuatan sebesar ini, tidakkah lebih cepat jika dia langsung ke benua merah Ultoris dan membabat habis seluruh penghuninya, seperti seorang petani yang membasmi hama-hama di sawahnya? Tindakan seperti itu jelas akan memancing raja mereka, Deathligan keluar dari persembunyiannya untuk memburu dirinya—sebengis-bengisnya raja lalim itu, Ultoris adalah kebanggaannya. Dia akan dengan senang hati menyambut Deathligan dan bertarung satu lawan satu melawannya, lalu menumpasnya. Dan perang puluhan tahun demi menaklukkan Ultoris pun akan berakhir.
“Jangan gegabah. Kau memang sudah lebih kuat, tetapi menaklukkan seluruh Ultoris dan mengalahkan Deathligan seorang diri adalah perkara mustahil,” ujar Alexon, salah satu rekannya sesama anggota Dewan Sepuluh Magias.
“Entahlah. Sebenarnya yang paling kuinginkan adalah mengakhiri peperangan yang sudah kelewat panjang. Kau tahu ‘kan, keinginan-keinginanku? Aku sudah menceritakannya kepadamu,” balasnya. Alexon diam.
“Aku tahu itu. Tetapi hakikat peperangan telah diukir di namamu. Ini adalah takdirmu. Takdirku juga. Takdir kita. Bersabarlah dengan hidupmu.”