Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #1

Prolog

Bagaimana bisa meleburkan pilu pada segumpal hati yang berkelana bersama mimpi? Bisakah dia potong saja ranting-ranting harapan di tengah padang hati indungnya yang sedang tandus?

Oh, tidak. Dia tidak dapat menemukan jawabannya pada orang yang hampir saja terenggut nyawanya ketika bersusah payah membuatnya melihat warna-warni dunia. Bahkan jika hatinya telah lapang, dia akan berusaha mengisinya dengan rumput-rumput hijau yang meliukkan kedamaian.

Lalu dari mana dia mendatangkan cinta untuknya setelah lukanya menari bersama kenangan?

Tidak. Anak itu tidak kuasa. Biarkan takdir yang berbicara padanya ....


****


Awal Tahun 2007

Sinar sang baskara di kala duha tengah menukik, mendesak lalu melantas ke dalam genggang-genggang gandaran yang berjebah ria memenuhi jalan raya. Kalakian membentuk tera-tera nan pancaragam di antara selirinya. Terlihat seorang dara duduk anggun di dalam sebuah gandaran besar dan panjang, Kedua gentel netranya mengambal sekitarnya. Rikuh terejawantah di jari jemarinya yang bersua.

Risi bersenggayut pada diri gadis itu. Mata kakinya selalu terantuk tumpukan kardus-kardus yang tersimpai oleh tali-temali. Hanya satu langkah darinya di seberang, duduk seorang kakek berkemeja batik lasem lunyai menaruh di bawah kakinya sekotak dus berleher rendah yang bagian atasnya terbuka. Dus yang bermuatan induk ayam dengan anak-anaknya itu amat ripuh menciap-ciap, seraya mengintip dari balik jaring-jaring biram mengilat khas buatan tangan kakek tua. Sesekali tangannya yang menggelembur mengelus-elus kepala si induk ayam.

Belumlah lagi, seorang pria yang duduk tepat di depan sibuk mengipas-ngipaskan dirinya dengan surat kabar yang sudah dia lipat dua sebelumnya. Sebuah tulisan besar bertajuk "Jumlah Penumpang Terminal di Jakarta Menurun Drastis" terpampang sangat jelas di sana. Sabur limbur bau mesin, bau apak, dan bau matahari begitu kuat menguar, menggahar indra pencium sang gadis. Hampir-hampir mengalahkan semerbak wangi klasik Antonio Puig "Agua Brava", parfum Legend Vintage 1980 yang meruap dari wanita gagah di sampingnya.

"Nari, kamu gak apa-apa?" tanya wanita penyuka air atar antik itu pada sang gadis yang ia panggil Nari.

“Mm ... Mama Tasna, apa gak ada transit lain?"

Wanita yang bernama Tasna itu pun menempelkan bahunya ke pundak Nari. "Maksud kamu?" tanyanya, sejumput senyum terjuntai indah nan menenangkan di wajahnya.

"Gimana ya, Ma. Kemarin temenku digebukin preman terminal gara-gara gak mau ngasi duit,” keluh gadis manis itu. Ia merasakan bantalan bahu kotak dari blazer sang Mama yang ikut menjauh seiring Mamanya memperbaiki posisi duduknya.

Memakai jas kantor tentunya semakin membuat sosok sang Mama terlihat gagah. Ia sungguh elegan di mata pengagum sang anak. Mamanya memang telah lama bekerja pada sebuah perusahaan ternama, namun dirinya belum juga berani mengendarai kendaraan pribadi. Sehingga alat transportasi umum ini menjadi satu-satunya pilihan untuk mengantar mereka yang baru saja selesai dari urusan bisnis sang Mama di luar kota. Dan ini adalah pertama kalinya bagi Nari diajak pergi oleh ibu kandungnya sendiri, membuat Nari baru saja teringat sesuatu yang begitu mendebarkan perasaannya. Ya, gandaran bus yang ditumpanginya ini sebentar lagi akan turun di sebuah terminal yang memang sudah terkenal paling rawan tingkat kriminalitasnya tersebut. Yaitu, Terminal Pulogadung.

“Jadi ... kamu selama ini menghindari terminal itu?” tanya Tasna, tersenyum. 

Nari mengangguk. Tasna memperhatikan kedua tangan putrinya yang saling berpaut acapkali bergerak-gerak. Lantas Tasna menaruh tangannya di atas kedua tangan Nari hingga diam menyatu. Seperti membeku, tangan Nari dirasanya amat dingin. Biji hitam di dalam dua buah gohong yang ada di bawah dahinya itu mengerling cepat menangkap mata putrinya.

"Maafkan Mama, ya, Sayang. Mama ... sibuk sekali dengan pekerjaan Mama ya? Sampai-sampai Mama tidak tau apa yang Nari takutkan."

Nari mengganjur napasnya dalam-dalam, tiba-tiba dia merasa dirinya baru mengerti bahwa menjadi anak broken home ternyata tidaklah semudah itu. Ini sangat rumit, bahkan jauh lebih rumit dari apa yang Nari bayangkan. Meski begitu, Nari mengarifi selalu seluruh kondisi Mamanya yang teguh memilih jalan berkerikil tajam dalam menjadi seorang single parent, berpugak-pugak seorang diri demi menyambung napas dan lambung keluarga. Adapun dirinya telah dirawat oleh kakak sepupu sang Mama yakni Uaknya sendiri yang malah ia panggil “Emak” selama ini. Berkali-kali sang Uak sudah memberitahukannya bahwa ia bukanlah ibu yang melahirkan Nari, namun karena dirinya sudah terlalu nyaman hidup dengan sang Uak membuat Nari berada di antara percaya dan tidak percaya.

Tasna melanjutkan perkataannya lagi, “Zaman dulu waktu Presiden Soeharto menjabat, para preman banyak yang ditembak mati di jalan-jalan lo.” Kali ini Nari mencureng, ia mencerap durja sang Mama dengan tatapan yang mendalam. “Di zaman Pak Soeharto tingkat kriminalitasnya sangat menurun. Malah hampir bisa disebut tidak ada kasus kriminalnya sama sekali. Bagaimana tidak? Semua orang pada takut berbuat kejahatan, ya mereka takut dibunuh. Hidup di zaman itu aman, tenteram. Tapi di sisi lain banyak anak-anak keturunan preman yang lemah, justru di-bully. Banyak juga yang putus sekolah. Kecuali yang memiliki hati yang kuat. Yang tahan banting biasanya itu yang akan berhasil." Tasna menerangkan seraya memberi gerakan menaikturunkan satu keping kelopak matanya kepada Nari.

Nari hanya terdiam, ia begitu khusyuk menyimak semua cerita dari Mamanya. Detik demi detik tergelicik. Hingga tak terasa, bus yang mereka tumpangi pun telah sampai jua di bibir terminal. Nari serta-merta diam mengamati. Ditunggunya penumpang-penumpang mana saja yang sekiranya akan turun saat itu. Ternyata semua masih melendeh dengan tenang di tempatnya masing-masing. Minda Nari mengecap bancuh sedari tadi. Nari terlalu jeri setengah mati.

Nari lantas bangkit, dilihatnyalah seperti apa kondisi terminal dari jendela bus di samping Mamanya duduk. Ia sungguh tersentak, seolah sesuatu telah meninju jantungnya hingga degupannya berhenti. Ya, mata Nari hampir saja bertembung dengan mata salah satu dari orang-orang berpenampilan preman yang mulai mengerumuni busnya itu. Segera Nari duduk lagi secepatnya. Kedua tangannya menggenggam jilbab putihnya dengan sangat erat di atas kedua pahanya.

Namun tidak mungkin selamanya Nari tidak turun-turun jua dari bus, kata hatinya mulai berkusu-kusu. Nari menyadari bahwa sudah waktunya bagi Nari dan Mamanya untuk segera beranjak dari tempat duduknya tersebut. Saat maju beberapa langkah dan sudah mendekati pintu keluar bus, Tasna menyuruhnya turun terlebih dahulu sambil meraba-raba semua saku yang menempel di pakaian kantor yang ia kenakan. Ternyata Tasna sama sekali tak menemukan dompetnya. Mungkin tertinggal di tempat duduk tadi, pikir Tasna. Ia pun kembali menuju selirinya lagi. Seketika Nari melulur air salivanya kuar-kuat. Ia menoleh ke arah punggung Mamanya yang masih terlihat sibuk mencari-cari dompetnya yang hilang tersebut. Dengan keberanian yang tidak biasa ia miliki, ia pun mencoba menuruti perintah Mamanya untuk turun bus seorang diri.

Lihat selengkapnya