Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #1

Prolog

Tahun 2009


Terminal Pulogadung sangat terkenal dengan tingkat kejahatan para premannya. Saat itu Nari dan Tasna, Mamanya, sedang berada dalam perjalanan sebuah bus. Mereka baru saja selesai dari urusan bisnis di luar kota. Ini adalah pertama kalinya Nari diajak pergi Mamanya—yang menjadi Asisten Manajer IT sebuah perusahaan ternama. Nari baru teringat bus yang ditumpanginya ini akan turun di terminal yang paling rawan kriminalitas tersebut.

“Ma, ga ada transit lain apa, Ma? Kemarin temenku digebukin preman terminal gara-gara ga mau ngasi duit,” keluh Nari. 

“Kamu selama ini menghindari Terminal itu?” Tanya Tasna, tersenyum. 

Nari mengangguk. 

“Maaf ya Sayang selama ini Mama sibuk kerja terus ya.” Nari menghela napasnya dalam-dalam, dia baru mengerti menjadi anak broken home ternyata tidak semudah itu. Ini sangat rumit, bahkan jauh lebih rumit dari apa yang Nari bayangkan. Meski begitu, Nari memaklumi kondisi Mamanya yang menjadi single parent, tentunya harus bekerja keras banting tulang seorang diri demi menghidupi keluarga. Sedangkan dirinya dirawat oleh kakak kandung Mamamya yakni Uwaknya sendiri yang malah ia panggil “Emak” selama ini. Berkali-kali sang Uwak sudah memberitahukannya bahwa ia bukanlah ibu yang melahirkannya, namun karena sudah terlalu nyaman hidup dengan Sang Uwak membuat Nari berada di antara percaya dan tidak percaya.

Tasna melanjutkan lagi, “Zaman dulu waktu Presiden Soeharto menjabat, para preman banyak yang ditembak mati di jalan-jalan lho.” Kali ini Nari menatap wajah Mamanya dengan serius, “Zaman dulu itu tingkat kriminalitas menurun sangatlah drastis. Bagaimana tidak? Semua pada takut berbuat kriminal karena semua orang takut dibunuh. Hidup saat itu aman, tentram. Tapi di sisi lain banyak anak-anak keturunan preman yang di bully. Banyak yang putus sekolah. Kecuali yang memiliki hati yang kuat. Yang tahan banting biasanya itu yang akan berhasil.”

Nari hanya diam mendengar cerita Mamanya. Sampai tak terasa, bus yang mereka tumpangi ini pun sampai di terminal. Nari diam mengamati. Ditunggunya penumpang-penumpang mana saja yang sekiranya akan turun saat itu. Ternyata semua masih duduk dengan tenang di tempatnya masing-masing. Pikiran Nari sudah kacau saja dari tadi. Nari terlalu khawatir setengah mati. Dilihatnyalah seperti apa kondisi terminal dari jendela bus di samping ia duduk. Nari tersentak, seolah degup jantungnya hampir berhenti. Ya, mata Nari hampir saja bertemu dengan mata salah satu dari orang-orang berpenampilan preman yang mulai mengerumuni busnya itu. Segera Nari duduk lagi secepatnya. Kedua tangannya menggenggam jilbab putihnya dengan sangat erat di atas kedua pahanya.

Namun tidak mungkin selamanya Nari tidak turun-turun dari bus. Nari menyadari bahwa sudah waktunya bagi Nari dan Mamanya untuk segera beranjak dari tempat duduknya tersebut. Saat maju beberapa langkah dan sudah mendekati pintu keluar bus, Tasna menyuruhnya turun terlebih dahulu sambil meraba-raba semua saku yang menempel di pakaian yang ia kenakan, ternyata Tasna sama sekali tak menemukan dompetnya. Mungkin ketinggalan di tempat duduk tadi, pikir Tasna. Ia pun kembali ke tempat duduknya lagi. Seketika Nari menelan air liurnya kuat-kuat. Ia menoleh ke arah punggung Mamanya yang masih terlihat sibuk mencari-cari dompetnya yang hilang tersebut. Dengan keberanian yang tidak biasa ia miliki, ia pun mencoba menuruti perintah Mamanya untuk turun Bus sendirian.

Dan benarlah kekhawatiran Nari, baru saja kakinya menapaki aspal terminal, tiga-empat preman langsung mengerubuti Nari dan menawarkan bantuan jasa apapun kepadanya dengan cepat. Nari, anggota ROHIS yang duduk di kelas 3 SMA berhijab lebar sepanjang paha ini tentu saja sangat risih dikelilingi laki-laki asing bukan mahram yang bertampang sangar-sangar seperti ini.

Nari berjalan pelan beberapa langkah namun para preman terminal terus saja mengerubunginya dan mencecarnya dengan beribu tawaran seolah tiada berujung.

“Sini neng saya bantu bawain Tasnya Neng.” Kata preman berwajah penuh dengan rambut-rambut kecil dan tindikan itu. 

“Sini, sini tasnya biar saya ajabyang bawain Neng lima puluh ribu aja saya mah.” Ucap yang berkepala botak.

“Neng, Neng, mau ke mana Neng? Saya anter ke loket bus kota Semarang mau? Apa ke Bandung? Ayo Neng ikut saya Neng.” Cecar satunya lagi yang bergaya rambut mirip landak itu.

Nari menolak mereka dengan halus. Sadar suaranya sangat kecil tak terdengar, mereka terus-menerus memepet Nari seolah memaksanya, membuat Nari menjadi kebingungan bukan main. Berkali-kali Nari mencari sosok Mamanya dengan menengok ke arah pintu bus.

“Ayolah Neng, lima puluh ribu kalo mahal ya udah seratus ribu aja gapapa kok Neng.” Melas si Botak sambil merebut paksa tas jinjing besar yang tadi ada dalam genggaman tangan Nari. Betapa terkejutnya Nari, ternyata ia juga sambil ditodong pisau dibalik sapu tangan corak hitam-putih oleh Si botak itu. Tampaknya si Botak sangat tidak sabaran karena merasa dicueki Nari terkait harga jasa pelayanannya tersebut.

Nari mencoba bersikap tenang meski sebenarnya hatinya sudah berteriak-teriak ketakutan. Ditengoknyalah sekali lagi ke arah pintu bus itu. Nari sungguh berharap Mamanya segera turun dari bus itu. Dan akhirnya harapan itu terwujudkan juga pada tengokan Nari yang terakhir.

“Mama!!” Nari segera melambaikan tangannya kepada Tasna tuk memberi kode. Tasna tersenyum lalu menghampiri putrinya. Napas Nari yang terikat saat itu pun mulai terlepas satu per satu. Kelegaan sangat terbaca di wajahnya. 

Lihat selengkapnya