DKI Jakarta tahun 1983
“Hah ... hah ... hah ....” Yahya mengagut-agut, napasnya memburu seiring teriakan histeris seorang wanita paruh baya yang baru lewat di bahu jalan penuh alufiru. Suara sirene pun menari-nari dengan samar di ujung daun telinganya. Peluh kian mencicik saja di badan, setitis turun cepat dari balik peci hitamnya yang miring menuju ujung dagu hingga tenggelam di dalam janggut tipisnya saat ia bangkit dari semak-semak taman kota—tempatnya bersembunyi.
Kedua mata Yahya membelalang, bulu romanya menegang. Ia dikejutkan oleh pemandangan yang mengerikan. Seketika seluruh yang ada di hadapannya diwarnai dengan percikan darah. Yahya menelan ludahnya melihat banyak jasad para Gali(1) berserakan begitu saja di jalanan.
“Ba-Babeh!” Yahya teringat Babehnya. “Babeeeehhh!!” Yahya bergegas maju. Segera ia kencangkan sarungnya, mencari Babehnya diantara jasad-jasad itu. Semua memiliki ciri khas yang sama dengan Babehnya, yakni punya tato dan berpakaian khas Gali.
“Babeh!” Yahya berlari sesaat setelah kedua bola matanya yang tajam itu berhasil menemukan jasad sang Babeh.
Diangkatnyalah kepala Babeh ke dalam pelukannya. Kedua air matanya tak henti-hentinya turun ikut menyaksikan sang Babeh yang sudah tidak dapat bergerak lagi itu. Tampak darah mengalir segar dari sebuah lubang kecil pada dada kiri Babehnya. Yahya meraba dada itu dengan tangan dan bibir bergemetar. Darah orang yang sangat dicintainya pun membasahi jari jemarinya. Telah mengalirlah di sekujur tubuhnya sebagian darah sang Babeh yang mendidih. Seketika Yahya memeluk Babehnya lagi, pondasi di hatinya telah luluh lantak. Ia pun menengadahkan kepalanya ke atas langit seraya berteriak keras, “Baabeeeeehhhh ...!!!”
Orang-orang hanya bisa berlalu-lalang seolah tidak peduli sebab semuanya lari ketakutan, ingin cepat-cepat pergi dari tempat tersebut. Hari itu menjadi hari yang paling mencekam tidak hanya bagi diri seorang Yahya, tapi juga untuk seluruh warga Jakarta.
Sebelum Yahya bersembunyi di semak-semak taman kota, ia yang baru saja pulang sehabis salat isya langsung ikut menghampiri Babeh dan puluhan kawanannya yang berada di kolong jembatan by-pass, tak jauh dari rumahnya itu.
Babehnya sudah tak lagi ada di usia muda, namun jiwa pemimpinnya masih sangat membara. Meski hanya menjadi penguasa wilayah Pisangan Timur, Rawamangun, Pulogadung, dan beberapa daerah Jakarta Timur lainnya, itu sudah cukup membanggakan bagi dirinya. Semangatnya tak terasa ikut menular pada wajah-wajah anak buah kawanannya. Kecuali Yahya. Yahya tampak menyatukan kedua alisnya dan menggelengkan kepala perlahan di sisi Babehnya yang berapi-api yang diiringi sorak-sorai para kawanan Gali.
“Babeh udah janji ama Yahya,” bisik Yahya ke telinga sang Babeh saat suara keseruan anak buahnya mereda.
“Iye ini terakhir, Yahya. Babeh Janji, deh.” Tanpa menoleh, penguasa kawasan timur Jakarta ini menjawab dengan senyuman.
Saat sorakan yang kedua, dengan mata kepala Yahya sendiri ia melihat satu-dua orang anak buah Babehnya yang berada di barisan paling belakang tumbang. “Aaahhh!!!”
Lanjut empat, lima, tujuh ... dan sembilan orang lagi pun terjatuh. Diringi suara teriakan yang kian lama kian jelas terdengar di telinga. Membuat semuanya saling berpandang-pandangan. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam hari itu. Karena musuh tak terlihat, tak tahu juntrungannya. Dan tidak perlu butuh waktu lama. Sepersekian detik kemudian mereka yang saling berpandang-pandangan itu pun ikut tumbang juga. Sebagian berlari berhamburan. Namun Yahya melihat mereka yang berlari tetap kena tembak di bagian kaki, dada, leher dan bahkan tepat di kepala mereka. Darah pun mulai menetes di mana-mana. Keadaan jelas semakin kacau. Menyiram banyak sekali tanya di antara satu sama lain.
“Petrus!” Babeh Yahya memecahkan keheningan di benak Yahya.
“Apa?”