Keesokan harinya. Betapa terkejutnya warga Jakarta di pagi hari itu, tepat pada jam-jam orang hendak berangkat bekerja. Khususnya mereka yang berjalan kaki untuk naik angkutan kota. Termasuk Tasna, ia dan lainnya harus beringsut-ingsut melewati jalan yang padat akan pemandangan yang mengerikan. Ya, sebagian besar jalanan yang ia lewati, baik jembatan, kebun, maupun pinggir kali tergeletak begitu saja jenazah-jenazah yang tidak diketahui apa penyebabnya. Tasna mengibaskan udara di depan wajahnya dan sesekali menutup hidungnya setiap kali bau anyir yang cukup kuat menusuk indra penciuman Tasna.
Dilihatnya beberapa jasad ada yang ditumpuk-tumpuk dengan jasad yang lain. Sebagian lagi dimasukkan ke dalam karung dalam kondisi diikat, sebagian lainnya terdapat banyak luka jeratan di bagian leher. Bekas peluru juga ditemukan di kaki, jantung dan kepala mereka. Beberapa ada yang tangan juga kakinya terikat dan uniknya mereka semua bergelimpang begitu saja di tengah ataupun di pinggir jalan. Setiap jasad-jasad itu ditaruh uang lembaran sepuluh ribu rupiah. Tasna mendekat. Sebuah kertas yang ditimpa batu bertuliskan "Biaya Penguburan" terpampang sangat jelas di atas semua jasad-jasad itu. Tanpa sadar Tasna pun merasakan bulu remangnya mengirik.
Diperhatikannya lagi para mayat itu. Semuanya memiliki penampilan yang sama. Dan ia mengenali hampir semua wajah-wajah pucat beku itu. Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu menerjuni seisi kolam hatinya. Sesuatu yang dapat membobol hebat gerbang matanya yang terbuka hingga mengalirkan air mata kepedihan.
“Bang Ucop ...? Mat Benyo ...?” Tasna berkata dengan lirih, ia berjalan perlahan sambil satu per satu memandangi jasad-jasad yang ternyata memang betul ia kenal. “Pengki? Codet? Buang ...? Bang ... Comber ...? Bang ... Sabeni?! Ya Allaaahh ...." Tasna buru-buru memejamkan matanya. Tak sanggup lagi ia melihat orang-orang yang dikenalnya terbujur kaku di balik selimut darah mereka. Butiran air mata langsung menyentuh pipinya. Gaung di dadanya bertalun-talun. Ia tak kuat, sungguh ia tidak kuat.
Ia mencoba mengokohkan lagi hatinya seraya membuka kelopak matanya perlahan. Dilemparkannyalah pandangannya secepat kilat ke arah barat laut di depannya, lidah Tasna tercekat. Karena bola matanya malah menemukan sosok yang paling dikenalnya di antara kenalannya yang lain. Seisi periuk dalam dada Tasna pun bergemuruh. Riuh. Rasa sesak langsung terasa menyebar ke seluruh tulang rusuk dan kepalanya.
“Kong Simaaann! Ya Allaaahh!!” Tasna menjerit. Tangisannya melemparkan ngilu di sudut hati orang-orang sekitar yang mendengarnya. Ia segera berlari mendekati jenazah Engkong Siman kemudian berlutut tepat di samping bahu Engkongnya itu.
“Siapa yang melakukan ini sama Engkoooonngg!! Siapa Kooongg ...?! Si ... a ... paaa ...?!” Dengan tersedu-sedu Tasna memeluk tubuh kaku Engkong Siman. Sudah tidak lagi ia hiraukan bau-bau tak sedap dari darah merah itu. Tidak lagi.
Sebuah sentuhan dirasakannya telah mendarat lembut di atas bahu kanannya. Dengan masih terisak-isak, Tasna menoleh untuk mengetahui siapa orang yang ingin menyapanya itu.
“Bang Iwan?” sapa Tasna dengan nada terkejut.
“Iye, Na. Ini aye, Iwan.”
Bertemu dengan salah satu anak buah Engkong Siman ini ternyata justru membuat tangisan Tasna makin menjadi-jadi. Iwan bingung harus bagaimana lagi caranya untuk menenangkan wanita ini.
“Udeh ye, udeh. Ikut Bang Iwan yuk Tasna yuk ....”
Tasna mengangguk, masih dalam sedunya. Tak peduli harus bolos kerja hari ini, Tasna terus mengikuti langkah kaki Iwan tanpa sepatah kata pun keluar di antara mereka berdua. Iwan adalah salah satu anak buah Engkongnya yang selamat. Saat tragedi Petrus itu Iwan segera melarikan diri sejauh-jauhnya. Iwan bermaksud ingin membawa Tasna ke tempat markas besar Engkong Siman yang tidak jauh dari tempat Tasna menangis tadi.
Sampailah Tasna di depan sebuah bangunan seperti gudang lama, bekas pabrik zaman dulu yang berpuluh-puluh tahun telah ditinggal dan tak dirawat lagi oleh pemiliknya. Hanya perlu waktu lima belas menit saja untuk mereka berjalan kaki ke sana. Sejak sibuk kerja yang disambil dengan kuliah, Tasna cukup lama tidak pernah lagi datang ke sini. Namun ia masih ingat betul kapan terakhir kali matanya merekam semua sisi di tempat itu.
“Pada kabur ke sini, Na, kita semua kemaren entu,” papar Iwan, yang usianya hanya berbeda tiga tahun saja di atas Tasna.
Mata Tasna langsung menyapu ke segala sudut ruangan luas yang memperlihatkan kondisi memprihatinkan dari mereka semua yang tersisa. Ada yang sedang duduk-duduk di sebuah tong besar karatan sambil meringis kesakitan, ada lagi yang dibalut perban di kaki dan tangannya, ada lagi yang memerah di sekujur kulitnya. Mereka semua kompak, mengganti pakaian khas Gali mereka dengan pakaian seperti orang biasa pada umumnya. Hanya saja bekas tindikan anting-anting yang dicopot masih menmberitahukan dengan jelas jejak-jejak mereka. Tampak di belakang mereka ada api dan asapnya yang berkobar-kobar. Beberapa orang Gali di sana melambaikan tangannya kepada Tasna, lalu mereka sibuk melemparkan segala macam atribut-atribut Gali ke dalam api tersebut. Jaket hitam, rompi hitam, celana bolong-bolong, kalung, rantai, dan lain-lain.
Iwan menjelaskan. “Semalam kita semua pada buru-buru nyetrikain tato-tato yang nempel di badan kita, Na. Aceng noh yang bantu nyetrikain. Die nyetrikain tato yang ade di tangan kite, kaki kite, punggung kite. Wah ... teriak-teriakan dah pokoknya, Na."
Tasna bergidik mendengar kisah perjuangan mereka demi bisa bertahan hidup itu, wajah sedih Tasna yang biasanya suka ia sembunyikan kini tak bisa lagi membohongi mereka.
“Untung banget tuh yang tatonya pada kecil-kecil. Laaahhh? Nyang tatonye banyak melebar begemane coba entu pas nyetrikanye? Tu lihatin aje lagi pada saling olesin luka perihnye ame ngipas-ngipas. Abisnye mao gimane lagi pan yak. Yaaah ... terpaksa dah dari pada kita semua habis kena sasaran tembak kan?”
Tasna hanya mampu membenarkkan, seakan memang tak ada jalan lain selain yang sudah mereka sebutkan.
"Si Idul, ame si Markoim, terus ... ame ... si siape tu ye namenye ...."
"Bendil!" sahut Gali di sebelahnya.
"Nah iye si Bendil, pada kaburnye ke hutan sono noh. Au dah naek paan," Cerita salah satu Gali yang sedang sibuk meluruskan kembali rambut punk ala landaknya itu."Kalo Bang Encep ame si Begeng kabur ke kampungnye masing-masing di Lampung, katenye sebelom pamit nitip salam buat Tasna. Mon maap kagak bisa di sini dulu katenye begitu ...," lanjutnya lagi.